KEDOK KAMPANYE "ANTI-TALIBAN"
Stigma "Islam radikal” dan “kaum Taliban” bagi sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi diduga merupakan bagian dari kampanye pembusukan lembaga antirasuah itu. Tes wawasan kebangsaan--yang diklaim untuk menangkal radikalisme—terbukti tak hanya menjegal penyidik dan pegawai yang beragama Islam. Sebagian dari mereka punya kesamaan: pernah membongkar kasus besar, menolak pelemahan dan revisi Undang-Undang KPK, serta kritis terhadap pimpinan KPK saat ini.
Sejumlah kalangan menilai hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penuh dengan kejanggalan. Sebab, 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes itu justru para penyidik, penyelidik, serta pegawai senior dengan rekam jejak mumpuni dalam pemberantasan korupsi.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, mempersoalkan hasil tes wawasan kebangsaan yang tidak meluluskan para pegawai KPK yang dikenal kritis dan sudah menangani berbagai kasus korupsi besar di Tanah Air. Wana menduga para pegawai itu sengaja disingkirkan justru karena konsistensi mereka dalam memerangi korupsi.
Wana tak percaya 75 pegawai itu tidak lulus karena mereka berpaham radikal dalam beragama, seperti yang kerap didengungkan barisan pendukung pelemahan KPK. Para pendengung, termasuk di media sosial, kerap melabeli sejumlah pegawai KPK dengan sebutan "Taliban". Sebutan ini mengarah pada pegawai KPK yang beragama Islam dengan ketaatan tinggi dalam menjalankan ibadah. “Justru bisa jadi ada sentimen pribadi, bukan dalam konteks profesional,” kata Wana, kemarin.
Dua hari lalu, KPK mengumumkan bahwa 75 pegawai tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Tes ini merupakan proses alih status 1.351 pegawai KPK menjadi aparat sipil negara.
Berdasarkan penelusuran Tempo, mereka yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan berasal dari beragam latar belakang, baik agama maupun posisinya di KPK.
Sebagian pegawai yang tidak lolos itu non-muslim. Mereka adalah Andre Dhedy Nainggolan, Marc Falentino, Rasamala Aritonang, Benedictus Siumlala, dan Rieswin. Andre dan Falentino merupakan penyidik senior di KPK. Rasamala menjabat Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK. Rieswin merupakan penyelidik. Adapun Benedictus adalah anggota staf di bagian hubungan masyarakat.
Di luar nama itu, ada nama penyidik senior Novel Baswedan dan Ambarita Damanik. Lalu Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi, Sujanarko; serta Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi, Giri Suprapdiono. Mereka beragama Islam.
Para penyidik yang dinyatakan tidak lolos tes juga punya rekam jejak yang panjang dalam membongkar kasus korupsi besar. Andre Nainggolan, misalnya, merupakan penyidik kasus korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada 2012. Perkara ini menyeret Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka, yang di pengadilan divonis 18 tahun penjara.
Teranyar, Andre menjadi penyidik kasus korupsi bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial. Tersangka kasus ini adalah Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial yang juga Wakil Bendahara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dua politikus PDIP juga disebut-sebut terlibat dalam perkara ini, yaitu Herman Hery dan Ikhsan Yunus.
Falentino juga menangani berbagai kasus korupsi kakap. Ia bersama Novel Baswedan menjadi penyidik kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik. Kasus ini menyeret bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Setya Novanto. Masih banyak nama yang disebut-sebut terlibat dalam rasuah ini.
Perkara terbaru yang ditangani Falentino adalah dugaan suap terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Mantan Bupati Bantaeng itu maju dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada 2018 dengan diusung oleh PDIP, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Tiga narasumber Tempo mengatakan pimpinan KPK sudah memetakan para pegawai sebelum asesmen (tes). Pemetaannya antara lain menggunakan kategori: penyidik dan penyelidik yang menangani kasus korupsi kakap, pengurus Wadah Pegawai KPK, pegawai yang pernah memeriksa kasus dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK, serta pegawai yang vokal menolak revisi UU KPK dan menolak Firli sebagai Ketua KPK.
Dari pemetaan tersebut, muncul sejumlah nama yang bakal tidak diluluskan dalam tes wawasan kebangsaan. “Orang-orang yang terlibat pada masa itu rata-rata masuk daftar,” kata seorang sumber Tempo.
👉SELENGKAPNYA baca KORAN TEMPO edisi Jumat, 7 Mei 2021