GUS MIFTAH KE GEREJA, UAH KENA POTONG VIDEO
Apakah Ustadz Adi Hidayat ادي هدايت (UAH) bermaksud menyinggung Umat Katolik lewat potongan videonya yang viral itu? Sebelum menjawabnya, izinkan saya bercerita dulu.
Suatu ketika di kelas Ushul Fiqh semasa di pesantren dulu, sekitar 20 tahun yang lalu, seorang ustadz bertanya kepada saya dan kawan-kawan. Ustadz Iyet namanya.
"Siapa yang bisa memberi contoh penggunaan lā nahyi dalam al-Quran?" Tantangnya. Ia merujuk pada hukum yang melekat pada penggunaan huruf lam (dan alif) yang menunjukkan larangan, dalam Bahasa Arab disebut 'nahyi'.
Dengan semangat, seorang teman buru-buru mengangkat tagan. Kemudian ia mulai memberi contoh, "Lā taqrabūs-shalāt!" (janganlah kamu mendekati shalat) Katanya. Senyumnya menyeringai.
Ustadz Iyet terdiam. Lantas menggelengkan kepala. "La nahyi-nya benar. Tapi jawabannya salah." Ujarnya. Kami semua bertanya-tanya apa sebabnya?
Jawaban teman saya tadi merujuk pada surat an-Nisa ayat 43. "Yā ayyuhal-ladzīna āmanū, lā taqrabūs-shalāt wa antum sukarā hatta ta'lamū mā taqūlūn..." Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan.
Jawaban teman saya tadi benar secara gramatikal. Frase 'lā taqrabūs-shalat' (jangan dekati shalat) memang menggunakan lā nahyi, tetapi ayat itu tak bisa dipotong atau dipenggal begitu saja. Ayat ini mengandung prinsip jawab-syarat: Kita memang dilarang mendekati shalat, dalam keadaan mabuk (wa antum sukarā).
Jika syaratnya dihilangkan, perintahnya menjadi perintah larangan shalat saja. Sementara kita tahu itu salah. Maka ayat itu harus hadir secara lengkap sebagai satu kesatuan yang koheren, tak bisa dipotong-potong atau dipenggal-penggal. Memotong jawab dari syaratnya akan menghadirkan interpretasi yang keliru. Apalagi kalau kita tidak memahami konteksnya.
Dari kejadian itu saya belajar tentang konteks. Tentang keutuhan sebagai kesatuan yang koheren, sebagaimana dijelaskan Umberto Eco dalam teori 'textual cooperation'.
Saya ingin menggunakan kisah ini untuk menjelaskan polemik yang sedang menimpa Ustadz Adi Hidayat baru-baru ini. Videonya dari ceramah lima tahun lalu dipotong untuk kemudian dijadikan pelengkap narasi bagi kejadian hari ini. Hasilnya tentu saja kesalahpahaman, tafsir terhadap potongan video itu menjadi liar—disertai tuduhan-tuduhan yang mengarah pada pembunuhan karakter (character assasination) terhadap UAH.
Setidaknya ada dua hal penting yang perlu kita pahami dulu untuk meletakkan polemik ini dalam konteks yang tepat. Pertama, polemik video UAH ini bukanlah fenomena tunggal yang berdiri sendiri. Video ini pada awalnya dipakai oleh sebuah akun untuk membuat 'judgement' terhadap peristiwa ceramah Gus Miftah dalam peresmian sebuah gereja di Jakarta Utara.
Video UAH dipotong untuk memberikan 'framing' bahwa yang dilakukan Gus Miftah itu salah. Kebetulan dalam potongan video itu UAH menyinggung pendapat Hadratus-Syaikh Hasyim Asy'ari tentang keharaman umat muslim untuk berjalan beriringan (maksudnya mengikuti ibadah) ke gereja, menyembah salib, dan seterusnya.
Di sini kesalahpahaman pertama terjadi. Banyak orang mengira bahwa UAH mengomentari langsung kejadian tersebut, kasus Gus Miftah tadi, padahal itu video lama sekali dengan konteks yang pasti berbeda. Tak bisa disalin-tempel begitu saja ke dalam konteks yang lain.
Masalahnya, polemik ini juga dibumbui dengan residu sinisme politik. Sebagian orang lantas mengunggah foto Anies Baswedan di acara yang sama, acara peresmian gereja di Jakarta Utara itu. Lantas dengan sinis sebagian orang mengatakan, "Apakah Ustadz Adi Hidayat juga akan mengkafirkan Anies Baswedan?".
Saya yakin sebenarnya baik Pak Anies, Gus Miftah, Ustadz Adi Hidayat, atau Ustadz Abdul Somad tidak saling terkait langsung dalam peristiwa ini. Netizen-netizen iseng saja yang membentur-benturkan mereka. Mengambil sebuah pendapat dari satu konteks yang berbeda untuk diterapkan kepada peristiwa ini. Tentu jadinya kacau dan rancu.
Kedua, gara-gara video yang dipotong itulah, UAH lantas dianggap mencampuri urusan Umat Katolik. Pasalnya dalam potongan video itu UAH mengemukakan pendapatnya tentang sejarah penyebutan hari Minggu yang boleh jadi berasal dari kebiasaan meringkas kata, konon dari nama Santo Dominggo. Pastor Postinus Gulo lantas membuat utas khusus untuk menanggapi potongan video ini. (Saya tak ingin masuk ke persoalan substansinya, semua pihak punya wilayah otoritasnya masing-masing).
Dari sanalah polemik babak kedua ini bermula. UAH jadi dianggap menyerang umat Katolik, kemudian netizen iseng membentur-benturkan UAH dengan umat Katolik, menuduhnya intoleran, sok tahu, kurang ilmu dan seterusnya. Padahal pembahasan sebenarnya berkembang sendiri, ke mana-mana sampai jadi berbagai utas di Twitter, jadi artikel di Kompasiana, jadi aneka berita dengan judul salah kaprah di media online, hingga muncul berita dari situs berita berafiliasi komunitas Katolik di Asia (uacanews.com).
Saya kira polemik ini harus segera dihentikan. Semua ini hanya menunjukkan hobby kita berantem saja, suka membentur-benturkan, doyan mengadu domba, potong-potong video dan pernyataan hanya untuk memframing sebuah peristiwa, untuk memenuhi syahwat keberpihakan politik tertentu saja. Padahal para pihak sebenarnya tidak berdiri di konteks yang sama. Boleh jadi saling tidak tahu dan tidak mengerti.
Saat polemik ini terjadi, UAH sedang menghabiskan waktu 10 hari terakhir bulan Ramadhan dengan beriti'kaf di masjidnya, Al-Ihsan, Bekasi. Ia tak tahu apa-apa, tiba-tiba viral gara-gara videonya lima tahun yang lalu. Tapi mungkin itulah risikonya sebagai pengajar, sebagai figur publik, yang kadang harus ditarik-tarik ke sebuah persoalan yang ia sendiri tak mengerti—videonya dipotong-potong untuk kemudian disalahpahami.
Siapa yang salah? Yang salah sebenarnya para buzzer, tukang potong video, netizen iseng yang tak kenal waktu berdebat dan berpolemik. Nggak tobat-tobat dari sinisme politik yang sebenernya lama sudah lewat. Bahkan Ramadhan pun tak bisa mencegah mereka terus berghibah, mencaci, mengadu domba.
Tabik!
(By FAHD PAHDEPIE)