[PORTAL-ISLAM.ID] Menjadi nasionalis adalah hal yang baik. Islam bahkan menganggap bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman. Hubbul Wathan minal Iman.
Akan tetapi cinta yang berlebihan pada negara tidaklah baik, sebab akan melemparkan seseorang menjadi sosok ultra nasionalis yang bersifat chauvinis. Bung Karno, memberi pesan khusus soal masalah ini.
Ciri-ciri chauvinisme salah satunya adalah terlampau jauh mengagungkan negara sendiri bersamaan dengan sikap merendahkan negara atau bangsa lainnya.
Dalam soal membangunkan kepedulian masyarakat kepada Palestina, Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari mencatat ada gejala kecil yang mengarah pada sifat Chauvinis itu.
Sikap itu nampak dengan adanya celetukan nyinyir yang seringkali mengontraskan antara kepedulian pada orang-orang malang negara luar dengan orang-orang malang di negeri sendiri.
“Tidak perlu dipertentangkan. Orang ga boleh mempertentangkan (bantuan) ini (untuk) yang di dalam atau di luar. Lah kalau bisa membantu dua-duanya kan bagus. Kenapa mesti mesti memilih? Dan kemudian dengan memilihnya mengabaikan kemanusiaan,” tegas Hajri, Jumat (21/5).
“Ya kita membantu sesuai dengan kemampuan kita. Dengan tanpa harus melupakan bantuan-bantuan untuk saudara-saudara kita sendiri di tanah air. Itu juga memerlukan bantuan juga, walhasil betapa besarnya pintu surga bagi kita sekalian karena peluang membantu sesama,” imbuh Hajri.
Bapak Proklamasi RI Bung Karno menurut Hajri bahkan telah mewanti-wanti sifat chauvinisme itu. Karenanya, Bung Karno menekankan bahwa nasionalisme dan internasionalisme harus berimbang. Persatuan Nasional dengan Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab harus berimbang.
“Kita tahu Bung Karno dulu ketika pidato kelahiran Pancasila mencanangkan tentang persatuan Indonesia atau persatuan nasionalisme kebangsaan, tapi Bung Karno khawatir kalau terlalu mengagungkan nasionalisme, persatuan nasional nanti mengabaikan kemanusiaan yang universal,” jelas Hajri.
“Jangan sampai Persatuan Nasional itu mengabaikan Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab, tapi juga jangan sampai perikemanusiaan yang adil dan beradab itu mengabaikan negaranya. Karena itu berkeseimbangan antara nasionalisme dan internasionalisme,” imbuh Hajri.
“Kita bisa melakukan itu semua. Dan sebagai orang Islam kita harus adil, tidak boleh itu justru berpihak pada yang kuat yang melakukan penindasan dan penjajahan,” tutupnya.
(Sumber: Muhammadiyah)