JANGAN ADA FITNAH DI ANTARA KITA
Oleh: Fahd Pahdepie*
Saya tak kenal siapa Eko Kuntadhi. Tapi tweetnya tentang donasi Ustadz Adi Hidayat (UAH) untuk Palestina ini, sebagaimana saya tampilkan di atas tulisan ini, berbahaya. Berpotensi mengandung fitnah dan jelas berbau provokasi.
Dengan menampilkan dua screenshot berita. Eko Kuntadhi menampilkan thumbnail Youtube UAH saat mengabarkan bahwa ia berhasil mengumpulkan donasi Rp30 milar untuk Palestina dalam 6 hari. Saya yakin Eko tak menonton video itu, sebab jika ia menontonnya, seharusnya ia tahu ke mana dana Rp 30 miliar itu disalurkan.
Tangkapan layar kedua adalah berita CNN Indonesia yang melaporkan UAH menyerahkan dana Rp14,3 miliar ke MUI. Entah ia membaca berita-berita ini atau tidak, sebab jika ia membacanya bantuan yang diserahkan melalu MUI ini hanya salah satunya saja. Di hari yang sama diserahkan juga bantuan lain, masih disaksikan langsung MUI dan Dubes Palestina Zuhair al-Shun.
Tweet Eko Kuntadhi tanggal 25 Mei 2021 itu bukan hanya cacat informasi, tetapi sekaligus sangat mungkin memunculkan kecurigaan dan fitnah. Ia menulis di tubuh cuitannya, "Alhamdulillah. Terkumpul Rp60 M. Diserahkan Rp16 M." Lalu diralat dalam reply tweet berikutnya, "Sorry Rp30 M."
Saya menilai tweet itu penuh sinisme. Terbaca sengaja dibuat untuk menciptakan kecurigaan atau setidaknya polemik. Anda boleh setuju atau tidak dengan pendapat saya. Tapi silakan bacalah reply-reply untuk tweet itu, puluhan orang menulis tuduhan UAH menggelapkan dana dan tidak menyerahkan bantuan sepenuhnya.
Apa sebenarnya tujuan dari tweet-tweet semacam ini? Silakan tanyakan langsung kepada Eko Kuntadhi. Tapi ini berbahaya. Saya memerangi narasi-narasi ganjil semacam ini. Provokatif, penuh sinisme, mengandung fitnah dan berpotensi memecah belah.
Saya mengenal UAH secara pribadi, bahkan ikut mengikuti alur dan proses pengumpulan dana untuk Palestina ini. Semuanya akuntabel dan transparan, rekeningnya bisa langsung disupervisi Bank Syariah Mandiri (BSI), Yayasannya diaudit secara publik, diserahkan kepada lembaga terkemuka yang diakui negara, semua prosesnya disiarkan secara langsung dan melibatkan publikasi media yang luas.
Seluruh dana yang terkumpul hingga 25 Mei senilai lebih kurang 2 juta USD, sekitar Rp30 miliar. Alokasi dana donasi itu dibagi tiga: Pertama, 715 ribu USD atau sekitar Rp10,2 miliar diserahkan untuk warga Gaza melalui lembaga International Humanitarian Network (INH). Bahkan rincian rencana penggunaannya dibacakan secara publik dalam siaran langsung MUI. Diserahkan secara langsung dan disaksikan Dubes Palestina.
Kedua, 1 juta USD atau sekitar Rp14,3 miliar yang diserahkan melalui MUI. Juga disaksikan langsung Dubes Palestina. Alokasi dana ini akan disalurkan MUI untuk pembangunan Rumah Sakit Indonesia Hebron (RSIH) dan bantuan lain untuk Palestina. MUI mengumumkan penyalurannya secara publik juga, melibatkan banyak media.
Ketiga, dana sisanya, sekitar 5,5 miliar, dialokasikan untuk dana pendidikan anak-anak Palestina, termasuk yang ada di Indonesia. Direalisasikan dalam bentuk beasiswa, dukungan kepada sekolah dan universitas di Palestina, dan lainnya. Semua dana ini masuk ke Yayasan Ma'had Islam Rafi'ah Akhyar (MIRA) yang diaudit secara publik oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Saya sendiri mendampingi penyerahannya secara langsung di kantor Dewan Syariah MUI. Hadir dalam acara itu berbagai tokoh dan media, termasuk wakil ketua MUI, sekjen MUI, Dubes Palestina, Komisaris BSI, hingga kawan dari kantor Wakil Presiden RI. Puluhan media meliput dan melaporkan acara yang disiarkan secara langsung melalui streaming Youtube itu.
Singkatnya, semua cara dan prosedur yang seharusnya ditempuh sudah dilakukan, melibatkan institusi kredibel yang diakui negara, seluruh prosesnya dilaporkan secara terbuka dan bisa dicek langsung.
Akhir-akhir ini memang muncul fitnah pada UAH dengan berbagai jenisnya. Diiringi narasi nyinyir mengapa menyumbang atau berdonasi buat Palestina, padahal banyak orang di Indonesia juga membutuhkan. Yang jelas, orang-orang ini tak terima muncul solidaritas sebagaian masyarakat Indonesia untuk Palestina. Hei, bukankah hak setiap orang untuk peduli dan bersolidaritas pada 'cause' apa saja yang relevan dengan mereka, tentu selama tak melanggar hukum nasional atau internasional. Kalau tak mau ikut menyumbang tak apa-apa, tapi jangan ribut dan ribet.
Saya heran juga dengan Eko Kuntadhi ini. Mengapa ia seolah tak suka, nyinyir, dengan apa yang dilakukan UAH untuk Palestina (Juga tokoh-tokoh lain, karena ia menulis hal sejenis untuk yang lain). Apa sebenarnya yang diharapkan Eko Kuntadhi? Polemik? Perdebatan? Kecurigaan publik? Tuduhan? Entahlah. Tapi apa yang ia lakukan sama sekali tak berdasar (baseless) dan memperkeruh ruang percakapan publik.
Saya tak kenal siapa Eko Kuntadhi. Tapi saya tahu apa batas yang bisa kita lakukan dan tidak, termasuk bagaimana mempersoalkannya. Jika perlu. Saya juga akan diskusikan dengan pihak-pihak tertentu untuk meminta pendapat. Kita juga bisa mengakses negara. Saya kira ini berbahaya. Membuat resah. Mudah-mudahan ada klarifikasi dan bisa diselesaikan.
Saya memang mengenal UAH secara pribadi, ia kakak kelas saya semasa di Pondok dulu. Sejak dulu selalu saya mintai nasihatnya, seperti kakak sendiri. Maka jika ada yang menyerang atau menuduhnya, pasti saya bela dan lawan. Tapi ini bukan soal UAH saja, ini sesuatu yang lebih besar. Kita harus mengerjakan sesuatu untuk menghentikan tradisi membuat narasi buruk dan tidak bertanggung jawab di ruang publik.
Kita harus berhenti mengikuti narasi-narasi buruk, melawan mereka yang doyan memicu konflik dan memecah belah. Mari bergerak.
Tabik!
(*fb penulis)