[PORTAL-ISLAM.ID] Pada 1949, setahun setelah negara Israel berdiri, Tel Aviv melakukan komunikasi dengan Jakarta. Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri David Ben-Gurion (masing-masing presiden dan kepala eksekutif Organisasi Zionis Dunia) mengirim telegram rahasia kepada Sukarno. Isinya: “Selamat atas kemerdekaan Indonesia”.
Sukarno selaku Presiden Indonesia tidak membalas surat itu. Sikap dingin Indonesia terhadap Israel itu tak terhindarkan karena Israel dipandang melakukukan penjajahan atas Palestina. Lagi pula, Indonesi juga telah menggalang solidaritas dengan negara-negara Islam di Timur Tengah sejak era Revolusi 1945-1949.
Pada tanggal 18 November 1946, negara-negara yang tergabung dalam Arab League Foreign Minister Council mengeluarkan resolusi untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Sebagai balasan atas pengakuan itu, Sukarno lantas mengirim Haji Agus Salim sebagai delegasi untuk menindaklanjuti resolusi 18 November 1946. Agus Salim mengunjungi Mesir, Syiria, dan Arab Saudi untuk mendapatkan pengakuan tertulis.
Pengakuan dari negara-negara Islam ini menjadi penanda penting terhadap eksistensi Indonesia di mata internasional. Terlebih dalam perundingan internasional yang melibatkan Indonesia dan Belanda di meja PBB, delegasi negara-negara Arab datang dan secara konsisten mendukung kemerdekaan Indonesia.
Menurut Greg Barton dan Colin Rubenstein dalam Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting (2005, hlm. 160), Sukarno memaknai pengakuan itu bukan hanya wujud solidaritas Islam, tapi juga sebagai solidaritas negara yang baru bebas dari penjajahan.
Pengakuan itu mengikat Indonesia dan negara-negara Islam Arab itu dalam hubungan emosional yang kuat. Jadi, ketika muncul konflik antara negara-negara Arab dan Israel, Indonesia tentu saja akan memihak pembelanya.
Tel Aviv sejak awal telah sadar potensi Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Selain itu, untuk konteks zaman itu, suara Indonesia mempunyai posisi tawar yang tinggi di dunia internasional.
Kegagalan pertama tidak menyurutkan langkah Israel “merayu” Indonesia untuk menjalin kerja sama. Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengirim pesan berisi tawaran kerja sama bilateral kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Bung Hatta lantas membalas pesan itu pada Mei 1950. Itu bukanlah balasan yang hangat karena Bung Hatta menjawab: niat baik Israel dalam menjalin diplomasi dengan Indonesia sebaiknya ditunda.
KAA Menolak Israel
Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia di bawah Sukarno sangat aktif mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika. Salah satu bukti kongkretnya adalah prakarsa untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955.
Masalah Palestina menjadi salah satu pembahasan dalam KAA. Namun, setelah berlalu 66 tahun yang lalu, misi untuk mendorong kemerdekaan bangsa Palestina belum juga tercapai.
Menurut Wildan Sena Utama dalam Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya Bagi Gerakan Global Anti Imperialisme (2017, hlm. 48), sempat terjadi perdebatan sengit di antara negara-negara penyelenggara KAA. Titik soalnya adalah apakah Israel akan diundang dalam perhelatan KAA atau tidak.
Dalam Konferensi Colombo (April 1954), Indonesia dan Pakistan sudah mengecam pendudukan Israel atas Palestina. Indonesia dan Pakistan bahkan telah mendesak PBB untuk memberi perlindungan kepada pengungsi Palestina dan mendesak pula agar para pengungsi dipulangkan kembali ke wilayah asalnya.
Lalu, dalam Konferensi Bogor (Desember 1954), Indonesia dan Pakistan menolak keras untuk mengundang Israel. Sedangkan, Burma dan Sri Langka tidak keberatan jika Israel hadir. Delegasi India lantas memberi bahan pertimbangan: ada potensi negara-negara Arab akan menolak hadir jika Israel tetap diundang.
Kelima negara pun sepakat untuk tidak mengundang Israel. Indonesia kembali memperlihatkan sikap tegasnya dalam KAA. Dalam komunike finalnya, KAA menyatakan dukungannya kepada Bangsa Arab atas Palestina dan mendorong penyelesaian sengketa antara Palestina dan Israel dengan jalan damai.
Atlet Israel Ditolak
Sukarno tidak main-main dalam mengimplementasikan politik antiimperialismenya, termasuk yang berkaitan dengan sengketa Palestina dan Israel. Setelah mengutuk dan menolak mengundang Israel ke forum KAA, Sukarno melakukannya lagi saat gelaran Asian Games IV 1962. Tapi, kali ini, Sukarno melakukannya secara tak langsung.
Harian Merdeka (25 Agustus 1962) memberitakan, kontingen Israel menarik diri dari keikutsertaannya dalam Asian Games IV. Menurut Amin Rahayu dalam Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya (2012, hlm. 108), yang terjadi sebenarnya adalah otoritas imigrasi Indonesia menolak kedatangan atlet-atlet Israel karena kedua negara tidak mempunyai hubungan diplomatik.
Pihak penyelenggara Asian Games IV di Jakarta sebenarnya telah mengirim undangan kepada Israel. Keikutsertaan mereka kemudian juga diurus secara Dewan Asian Games Indonesia (DAGI). Meski begitu, muncul peredebatan di antara Menteri Olahraga Maladi dan Menteri Luar Negeri Soebandrio soal keikutsertaan Israel.
Maladi menghormati dan berkeinginan untuk mengundang Israel sebagai anggota Asian Games Federation (AGF). Maladi khawatir, International Olympic Committee (IOC) tidak mengakui legalitas penyelenggaraan Asian Games IV jika Israel tidak hadir.
Sementara itu, Soebandrio berpendapat bahwa pertandingan olahraga bukan semata masalah olahraga saja. Lebih dari itu, perhelatan olahraga sebesar Asian Games juga harus mempertimbangkan persoalan politik.
Perdebatan itu membuat Maladi bimbang. Bagaimanapun, Israel tidak menyalahi etika apa pun untuk hadir dalam Asian Games IV di Jakarta. Maka Kementerian Olahraga bersikukuh tetap mengirim undangan resmi ke Tel Aviv.
Upaya Maladi itu pada akhirnya sia-sia. Pasalnya, ketika kontingen Israel tiba di Jakarta, pihak keimigrasian yang berada di bawah Kementerian Luar Negeri tidak memberi mereka izin masuk.
Perseteruan kedua menteri itu pada akhirnya sampai juga ke telinga Sukarno. Maladi dan Soebandrio lalu dipanggil ke Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut, Sukarno ternyata mendukung langkah yang diambil Soebandrio. Bagi Sukarno, kedatangan Israel ke Jakarta tidak sesuai dengan keputusan-keputusan KAA 1955.
Meski begitu, IOC tidak bisa menerima keberpihakan politik Indonesia pada Palestina. IOC pun melayangkan hukuman terhadap Indonesia berupa penangguhan sementara keanggotaannya dalam IOC. Indonesia juga diskors dari Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang.
Itu adalah pertama kalinya IOC memberikan hukuman kepada negara anggotanya. Tapi, Sukarno agaknya tak terlalu ambil pusing. Dia tetap konsisten membela hak kemerdekaan bangsa Palestina. Setahun kemudian, Sukarno menyelenggarakan Games of New Emerging Forces (GANEFO) sebagai tandingan Olimpiade.[tirto]