Kalau hari Minggu, cerita yang ringan saja...
Saya pernah di-DM seorang pembaca yang isinya meminta alamat. Katanya mau kirim madu supaya saya sehat dan bisa terus menulis. Namun sampai sekarang alamat tidak pernah saya kasih, karena saya tidak mau merepotkan orang. Terima kasih.
Tapi intinya bukan soal madu. Saya lihat sekilas profilnya. Ternyata dia seorang wiraswasta dan kritis terhadap kebijakan pemerintah (saya lihat status-statusnya).
Artinya apa? Itu (minimal) menggambarkan bahwa orang yang kritis terhadap pemerintah tidak selalu berarti adalah pengangguran yang frustasi terhadap hidup lantas membabi-buta menyalahkan pemerintah.
Apa lagi? Itu berarti kritis-idealis tidak harus dilakukan setelah Anda kaya dan punya banyak duit (memangnya apa itu kaya? Apakah kaya itu ukurannya membeli Inter Milan? Duit yang banyak itu seberapa?).
Narasi ‘jangan sok kritis kalo duit loe belom banyak’, ‘yang nyinyir adalah pengangguran yang cuma bisa menyalahkan pemerintah’ , dan ‘itu cuma suara orang-orang gagal yang iri gak dapat jabatan’ adalah mindset miring kekuasaan yang massif disebarkan lewat mulut para pesohor stress yang tidur siangnya jam 12 malam.
Saya yakin di Indonesia banyak orang yang mandiri secara ekonomi (cari uang sendiri tanpa disuapi negara bin korupsi malah bersedekah pajak) tapi kritis terhadap pemerintahan karena memakai akal sehat dan nurani (bukan karena afiliasi politik).
Banyak pelaku UMKM dan profesional yang saya kenal seperti itu. Pelaku UMKM yang bahkan tidak tahu siapa Menteri Koperasi dan UMKM-nya. Tidak tahu juga apakah Teten Masduki masih menjabat atau sudah beralih lagi ke usaha tanaman hias.
Jangan pula berpikir sempit/pukul rata bahwa siapa saja yang mengkritik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) adalah pendukung Anies Baswedan yang tidak ingin kasus rumah DP 0% diusut karena proteksi Novel Baswedan. Enak saja! Kalau Anda Pancasilais tentu mengerti butir sila ke-2 berkata: tidak sewenang-wenang terhadap orang lain dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabat.
Saya mengkritik salah satunya untuk menguji itu, bukan berarti membela kadrun (kasus DP 0% sudah saya kejar sejak 2 tahun lalu di Klapa Village, Pondok Kelapa, jauh sebelum mencuat sekarang).
Ada pula yang berkata ‘jangan cuma ngoceh di medsos tapi kasih solusinya’. Lah, orang-orang itu adalah penyelenggara negara yang digaji, dikasih bonus, insentif, fasilitas, tantiem dll tidak kasih solusi malah korupsi, mengapa kita disuruh memberikan solusi? Kalau pun didesak, jawabannya jelas: dalam segala tindakan kepemerintahan Anda, jangan korup!
Poinnya adalah hasrat akan keadilan (rasa keadilan) itu nyata dan selalu menjadi bagian penting dari suasana batin masyarakat. Tapi justru penguasa tidak bisa menangkap itu. Revolusi mental tidak terjadi. Berakhir sebagai jargon presiden dan proyek website 200 juta semata. Korupsi—bahkan untuk bantuan orang miskin—masih terjadi. Perekat persatuan tidak pula terjadi karena lebih memilih jalur pembelahan lewat kampanye berisik di media.
Bukankah itu semua terjadi juga pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya dan mana mungkin Jokowi yang cuma 2 periode bisa membereskan semuanya? Ya, di situ masalahnya. Berarti Anda sama saja. Tidak istimewa! Lagi pula memangnya butuh berapa periode lagi untuk menjadi istimewa?
Yang jelas adalah kita memerlukan banyak orang yang kritis, independen, cerdas, dan jujur di negara ini. Bukan untuk menjadi komisaris BUMN—sebab kita tahu bahwa bahan baku utama menjadi pengurus BUMN adalah menjadi pimpinan kelompok relawan atau posting minimal 1 x sehari hal positif tentang calon yang didukung—melainkan supaya masyarakat memiliki STANDAR NILAI, KECAKAPAN, MORAL, dan PERILAKU yang semakin tinggi untuk menilai para pejabat.
Sebab ‘kerja, kerja, kerja’ adalah semata robot sementara manusia memerlukan akal sehat dan rasa.
Tidak boleh lagi jatuh hati hanya terhadap sesuatu yang kasat mata macam lengan kemeja digulung atau masuk comberan. Hal yang tampak mata dan didengar telinga nyatanya tidak selalu bermakna! Semangat mengangkat wirausaha martabak ke tingkat dunia faktanya turun derajat menjadi sebatas wali kota di tempat kelahiran bapaknya.
Keadaan sekarang itu ilustrasinya begini: raja meminta seorang pelukis membuat lukisan paling bagus di dunia. Pelukis menyanggupi, tapi berkata ‘nanti hanya orang baik yang bisa melihat bagusnya lukisan itu’. Ketika hari H, pelukis membawa kanvas kosong. Karena takut dikira bukan orang baik, raja bilang bahwa lukisan itu bagus sekali. Pegawai kerajaan dan rakyat pendukung juga demikian, takut dibilang bukan orang baik dan akhirnya ikut memuji betapa bagusnya lukisan itu.
Makanya, saat ini, butuh lebih banyak orang yang berani berkata benar: “Bohong! Itu kanvas kosong. Tak ada bagusnya sama sekali!”
Salam. Selamat berakhir pekan.
(Agustinus Edy Kristianto)