[PORTAL-ISLAM.ID] Internal KPK tengah bergejolak. Keputusan Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, yang menonaktifkan 75 pegawai tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mendapatkan perlawanan.
Mereka yang dinonaktifkan keras bersuara menolak penonaktifan tersebut serta melawan keputusan Firli Cs dengan melapor ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK dan Ombudsman RI.
Pelaporan pimpinan KPK ke Dewas dilaksanakan pada Selasa (18/5/2021). Dalam laporan ke Dewas KPK, para pegawai KPK menduga Firli cs telah melanggar kode etik terkait aspek integritas dan kepemimpinan.
Salah satu yang menjadi poin aduan adalah dasar Tes Wawasan Kebangsaan yang diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Sebab, ada dugaan penyimpangan yang dilakukan Firli dalam proses pembentukan Peraturan KPK itu.
Berdasarkan dokumen pengaduan 75 pegawai KPK ke Dewas KPK yang diterima kumparan, Firli diduga menyelundupkan ketentuan Tes Wawasan Kebangsaan saat penyusunan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Diketahui Perkom (Peraturan Komisioner KPK) tersebut menjadi dasar pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK untuk alih status sebagai ASN.
Padahal UU KPK hasil revisi dan PP 41/2020 sebagai aturan turunan alih status pegawai KPK menjadi ASN, tak mengatur mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan.
Menurut 75 pegawai KPK, Firli diduga merupakan orang yang memasukkan aturan Tes Wawasan Kebangsaan dalam penyusunan Perkom 1/2021 pada 25 Januari 2021. Padahal dalam pembahasan Perkom sejak Agustus 2020, tak pernah ada pembahasan mengenai Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK untuk alih status sebagai ASN.
Aturan Tes Wawasan Kebangsaan dalam Perkom 1/2021 tercantum di Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi:
Selain menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk memenuhi syarat ayat (2) huruf b dilaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara.
"Bahwa pada tanggal 25 Januari 2021, dilaksanakan Rapat Pimpinan pembahasan Perkom Alih Status, dan terdapat penambahan pasal dari Saudara Firli Bahuri (Ketua KPK) terkait pelaksanaan TWK ke dalam draft Perkom Alih Status sebelum dibawa ke Kemenkumham untuk rapat harmonisasi," isi dokumen pengaduan 75 pegawai ke Dewas KPK.
Kemudian pada 26 Januari 2021, Firli disebut menghadiri rapat pembahasan draf Perkom yang terdapat syarat Tes Wawasan Kebangsaan di Kemenkumham. Namun rapat tersebut tak dihadiri Kabiro SDM KPK, Kabiro Hukum KPK, dan Sekjen KPK selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Setelah Perkom 1/2021 terbit, Firli mengadakan sosialisasi bagi para pegawai pada 17 Februari. Sosialisasi tersebut turut dihadiri Kabiro SDM dan Kabiro Hukum KPK.
"Dalam sosialisasi tersebut, berulang kali ditanyakan oleh para pegawai: 'apa konsekuensinya jika pegawai tidak lulus asesmen wawasan kebangsaan?' dan berulang kali pula dijawab oleh Saudara Firli Bahuri 'tidak perlu khawatir mengenai asesmen wawasan kebangsaan', 'semua pegawai KPK pasti bisa mengerjakan asesmen wawasan kebangsaan'," kata 75 pegawai KPK dalam pengaduannya.
Namun menurut mereka, ucapan Firli tak sesuai dengan kenyataan. Sebab Firli kini menonaktifkan 75 pegawai tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan melalui SK 652/2021 yang diteken pada 7 Mei.
Atas adanya laporan ini, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyerahkan semua proses kepada Dewas (Dewan Pengawas KPK). Namun dia mengeklaim bahwa semua keputusan pimpinan sudah berdasarkan diskusi dan persetujuan semuanya.
Pelaporan ke Ombudsman
Setelah ke Dewas KPK, 75 pegawai melaporkan Firli dkk ke Ombudsman RI. Mereka melaporkan dugaan maladministrasi terkait TWK sebagai syarat alih status menjadi ASN hingga berujung penonaktifan.
Pelaporan diwakili Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko. Ia termasuk 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK.
"Kami mewakili 75 orang pegawai membuat pelaporan resmi terkait dengan proses TWK yang dilakukan oleh KPK. Pengaduan untuk praktisnya hanya ditandatangani oleh 15 pegawai yang (tak lolos) TWK. Ini yang kami laporkan 5 pimpinan," ujar Sujanarko di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, pada Rabu (19/5/2021).
Sujanarko menilai Tes Wawasan Kebangsaan sebagai syarat alih status menjadi ASN bagi pegawai KPK merupakan maladministrasi. Ia menyebut terdapat 6 indikasi maladministrasi dalam proses TWK yakni:
1. Pimpinan KPK menambahkan metode alih status Pegawai KPK, bukan hanya melalui pengangkatan tetapi juga melalui pengujian. Keduanya bertolak belakang dan masing-masing metode memiliki implikasi hukum dan anggaran yang berbeda. Pasal 20 Ayat (1) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tidak merinci metode pengujian tes wawasan kebangsaan sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia dan kepastian hukum;
2. Pimpinan KPK membuat sendiri kewenangan untuk menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan yang tidak diatur dam UU Nomor 5/2014 tentang ASN dan UU 19/2019 tentang KPK dan PP 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK;
3. Pimpinan KPK melibatkan lembaga lainnya, melaksanakan TWK untuk tujuan selain alih status pegawai KPK. Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) PP 41/2020 dan Pasal 18 dan 19 Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021.
4. Pimpinan KPK menggunakan metode pengujian melalui TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK, padahal tidak ada ketentuan dalam Peraturan KPK 1/2021 yang menyatakan demikian. ;
5. Pegawai KPK membuat dan menandatangani dokumen pelaksanaan pekerjaan setelah pekerjaan selesai; dan
6. Pimpinan KPK menambahkan sendiri konsekuensi dari tes wawasan kebangsaan sehingga melampaui kewenangannya. Bertentangan dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.
Atas pengaduan tersebut, para pegawai meminta Ombudsman agar segera memeriksa Firli Bahuri cs atas kebijakan Tes Wawasan Kebangsaan yang bertentangan dengan UUD 1945, UU Ombudsman, UU Pelayanan Publik, UU ASN dan UU KPK.
"Menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan yang menyatakan Firli Bahuri dkk Komisioner KPK terbukti melakukan malaadministrasi," isi pernyataan 75 pegawai KPK.
Selain itu, 75 pegawai meminta Ombudsman mengeluarkan rekomendasi agar pegawai-pegawai KPK dipekerjakan kembali pada posisi semula.
"Memberikan sanksi bagi Firli Bahuri dkk dalam hal KPK tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman RI tersebut," ucapnya.
Penanganan Kasus Mandek
Sujanarko mendesak Firli segera mencabut SK penonaktifan. Sebab penonaktifan para pegawai dari tugas-tugas mereka membuat kerja KPK menjadi terhambat, termasuk dalam hal penanganan sejumlah perkara.
Sejumlah penyidik memang masuk dalam daftar tersebut. Mulai dari Novel Baswedan, Ambarita Damanik, hingga Yudi Purnomo. Mereka bukan hanya penyidik, tapi juga Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) yang menangani perkara.
"Dengan dinonaktifkannya 75 pegawai, kasus-kasus yang ditangani semuanya mandek," kata Sujanarko.
Sujanarko menyebut bukan hanya penanganan perkara di bidang penindakan yang mandek, direktorat lainnya di KPK pun terkendala karena adanya penonaktifan para pegawai itu.
"Jadi tidak hanya kasus, ada yang bekerja di Kerja Sama Internasional, Biro SDM, Biro Hukum, semuanya mandek. Kalau tidak mandek, paling tidak itu terganggu dengan nonaktifnya 75 pegawai," kata Sujanarko.
Ia pun heran mengapa Firli tak kunjung mencabut SK penonaktifan 75 pegawai. Padahal Presiden Jokowi telah bersuara mengenai polemik tersebut pada Senin, 17 Mei.
Para pegawai KPK yang dinonaktifkan mendesak Firli segera mengikuti perintah Jokowi.
"Kepala negara kan sudah memberikan statement, sudah memutuskan. Mau apa lagi yang digoreng-goreng? yang dimasak-masak?" kata Sujanarko.
(Sumber: Kumparan)