Tidak Ada Contohnya dari Nabi
Jika pengertian bidah adalah “sesuatu yang tidak dicontohkan oleh nabi”, maka akan ada banyak perkara yang harus dibidahkan. Dan besar kemungkinan, orang yang membuat pengertian bidah seperti ini, juga tidak akan bisa konsisten dengannya. Diantara yang harus dibidahkan :
Salat tarawih selama satu bulan penuh secara berjamaah di masjid hukumnya bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Salat tarawih 20 rekaat plus witir 3 rekaat sebagaimana yang diamalkan di Haramain (masjid Nabawi dan masjid Haram, Saudi Arabia) juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Salat Tarawih 8 rekaat plus witir 3 rekaat juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya. Hadis Aisyah yang menyatakan nabi salat di bulan Ramadhan tidak lebih dari sebelas rekaat itu maksudnya salat witir, bukan salat Tarawih.
Salat tarawih dengan membaca satu juz/malam secara terus menerus juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Kultum (kuliah tujuh menit) di sela-sela salat Tarawih, baik yang terus-menerus tiap hari ataupun kadang-kadang juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Qunut witir Ramadhan yang begitu panjang dengan redaksi khusus sebagaimana yang dibaca oleh imam-imam masjid Haramain juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Doa khatmil Qur’an dengan redaksi yang khusus sebagaimana dibaca oleh para imam di Haramain juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Ifthar jama’i (buka puasa bersama) dan terkadang ada pengajian sebelumnya juga termasuk bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Program ngabuburit yang diisi dengan pengajian secara terus-menerus selama Ramadhan juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Salat Terawih dengan shaf berjarak dan pakai masker juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Program membaca Al-Qur’an 5 lembar/hari – misalnya - juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Buka puasa dengan kolak atau es campur juga bidah, karena nabi tidak pernah mencontohkannya.
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kami sebutkan semuanya. Ini baru contoh masalah seputar Ramadhan, belum lagi di luar masalah ini.
Lalu bagaimana pengertian bidah yang benar ? Menurut mazhab Syafi’i, bidah itu adalah : “sesuatu yang baru yang bertentangan dengan syariat atau dalil”. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa sesuatu yang baru belum tentu termasuk bidah secara syari’i, jika tidak bertentangan dengan syara’ atau dalil.
Kalau dikatakan “tidak bertentangan dengan syara”, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut memiliki sandaran dalil. Dan dalil itu berupa Qur’an, hadis, ijmak dan qiyas. Contoh dari nabi itu hanya salah satu bentuk dalil, tapi bukan satu-satunya dalil. Ini pun masih harus dibedah lagi lebih detail, karena tidak setiap contoh dari nabi berarti menjadi hukum syara’ yang boleh diamalkan oleh umatnya.
Dan perlu dipahami, bahwa dalil tidak harus menunjukkan secara spesifik, tapi kadang berupa dalil umum ataupun yang lainnya. Dalil juga tidak melulu berupa Quran dan hadis, tapi juga bisa berupa ijma dan qiyas. Menurut sebagian ulama, “mayoritas” masalah-masalah fiqh itu dibangun di atas qiyas.
Maka, dari semua contoh perkara yang dibidahkan di atas, tidaklah bidah menurut kaidah mazhab syafi’i (kecuali masalah salat tarawih 11 rekaat, perlu ada pembahasan tersendiri). Karena semuanya walaupun baru atau tidak dicontohkan oleh nabi, tapi tidak bertentangan dengan syara’ baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dan semuanya memiliki sandaran dalil walaupun tidak menunjukkan secara spesifik, bisa jadi dalil yang bersifat umum, atau qiyas (analogi) atau ijmak.
Pembahasan seputar masalah bidah dan dalil, itu masalah yang sangat rumit dan sulit. Tidak boleh masuk dan ikut berbicara di dalamnya kecuali para ulama yang memiliki kapasitas untuk itu, terkhusus para ulama yang telah mencapai derajat ahli ijtihad. Adapun orang awam, maka haram hukumnya berbicara dalam masalah ini.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
(Ust. Abdullah Al-Jirani)