Salat Tarawih dengan Bacaan Panjang
Memang benar, bahwa salat Tarawih itu semakin panjang bacaan suratnya maka semakin afdal. Tapi perlu diketahui, bahwa ini kaidah asal. Kaidah ini tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Adakalanya bisa, dan ada kalanya tidak bisa bahkan bisa haram. keafdaliahan dalam masalah masalah ini tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada. Jika ternyata suatu masyarakat belum atau tidak siap untuk diimami dengan bacaannya yang panjang, maka hendaknya jangan dipaksakan. Karena jika dipaksakan, biasanya akan menimbulkan fitnah di tengah-tengah masyarakat.
Dulu, Muadz bin Jabal pernah salat Isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau pulang ke daerahnya dan mengimami kaumnya dengan surat yang panjang. Sampai akhirnya ada salah seorang yang keluar dari salat bersama Muadz, lalu dia melaporkan kejadian itu kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendengar hal itu, maka nabi memanggil Muadz, lalu berkata: “Apakah kamu seorang tukang fitnah wahai Muadz?!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut pengamatan kami, rata-rata masyarakat kita di Indonesia belum siap untuk diimami dengan bacaan panjang. Yang bisa ikuti adalah bacaan surat-surat pendek. Maka, jika kita mendapatkan kondisi seperti ini, hendaknya kita bisa menyesuaikan diri agar kemaslahatan dapat tercapai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمُ النَّاسَ، فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الصَّغِيرَ، وَالْكَبِيرَ، وَالضَّعِيفَ، وَالْمَرِيضَ، فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
“Apabila salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaknya dia ringankan (dipendekkan bacaannya), karena di dalam rombongan mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah, dan orang yang sakit. Apabila salat sendiri, silahkan salat sesuai keinginan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perlu diingat, bahwa ada suatu perkara yang afdal bisa jadi akan menjadi kurang atau tidak afdal di suatu keadaan tertentu. Masyarakat muslimin sudah mau salat Tarawih ke masjid walaupun dengan bacaan yang pendek, itu jauh lebih utama daripada diberi bacaan yang panjang tapi akhirnya mereka enggan atau kapok ke masjid. Di kondisi ini, bacaan panjang menjadi tidak afdhal dan bacaan pendek berubah menjadi lebih afdal.
Imam Nawawi (w.676 H) rahimahullah berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى الرِفْقِ بِالمأْمُوْمِيْنَ وَسَائِرِ الأَتْبَاعِ وَمَرَاعَاةِ مَصْلَحَتِهِمْ وَأَنْ لاَ يَدْخُلَ عَلَيْهِمْ مَا يَشُقُّ عَلَيْهِمْ وَإِنْ كَانَ يَسِيرًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ
“Di dalamnya terdapat dalil bawha wajib untuk berlaku lembut kepada kaum mukminin dan segenap orang yang mengikuti (makmum), memperhatikan kemaslahatan mereka, serta tidak masuk kepada mereka dengan membawa perkara yang memberatkan mereka walaupun perkara itu ringan (menurut kita) tanpa adanya kondisi darurat.” (Syarah Sahih Muslim, juz IV, hlm. 187)
Adapun jika suatu tempat orang-orangnya siap dan sudah terbiasa untuk diimami dengan bacaan yang panjang, seperti makmumnya dari kalangan santri, atau suatu pemukiman yang sudah biasa dengan hal ini, maka silahkan saja. Dari sini kita akan paham, bahwa “idialis itu harus pula realistis”, dan menerapkan sunah haruslah diiringi dengan hikmah. Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.
(Ustadz Abdullah Al-Jirani)