[PORTAL-ISLAM.ID] Sinyal oligarki di tubuh KPK dinilai mulai menampakkan diri. Terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim disebut sebagai langkah awal.
Kepala Badan Pekerja Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi, Abdul Kadir Wokanubun menegaskan, KPK di bawah komando Firli Bahuri saat ini, membuat sesuatu yang di luar nalar penegakan hukum (law enforcement). Salah satu yang tampak jelas adalah dua orang yang mendapat kado SP3 masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan belum pernah diperiksa.
Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya Itjih S Nursalim tidak pernah memenuhi panggilan untuk diperiksa KPK. Keduanya memilih melarikan diri ke luar negeri.
Di satu sisi, KPK sudah mengantongi bukti keterlibatannya bersama-sama Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004, Syafruddin Arsyad Tumenggung menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Kemudian menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.
Namun, KPK hanya dengan dasar MA mengabulkan kasasi Syafruddin Arsyad Tumenggung, kedua buron ini justru mendapatkan berkah dalam pelariannya, yakni SP3 hanya berjarak kurang dari dua tahun setelah ditetapkan tersangka pada 13 Mei 2019 lalu. Maka, kata Kadir, tidak sepatutnya kasus BLBI yang terkait dengan keduanya mendapat SP3.
“Dari sisi faktual bahwa Sjamsul Nurhalim dan Itjih Nursalim itu kan berkali-kali dipanggil oleh KPK itu tidak pernah datang, statusnya adalah in absentia. Nah orang yang katakanlah tidak kooperatif dalam menghadapi proses-proses penegakan hukum kok malah dijadikan contoh kasus SP3 yang pertama,” tegas Kadir.
Kendati begitu, Kadir menyebut, memang sejak awal sudah terbaca bahwa salah satu desain revisi UU KPK pada 2019 adalah penghentian kasus. Sebab, tidak mungkin sebuah kasus berhenti dengan UU KPK yang lama, maka dibuatlah revisi agar KPK bisa menerbitkan SP3. Itu sebabnya, dugaan UU KPK disponsori oleh orang-orang yang bermasalah mencuat.
“Yang mengesahkan UU KPK itu partai-partai (DPR). Sekarang juga harus ikut bertanggujawab,” kata Kadir.
Lebih lanjut Kadir menuturkan cara yang bisa dilakukan KPK adalah mengajukan gugatan perdata lewat Jaksa Pengacara Negara. Pengajuan gugatan secara perdata, setidaknya negara menerima pengembalian kerugian keuangan atas tindakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI terhadap BDNI yang dilakukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Angkanya sangat fantastis Rp4,58 triliun.
Gugatan tersebut sebagai pertanggungjawaban dari Sjamsul Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Tujuan lainnya sebagai pencegahan pelaku tindak pidana korupsi berpotensi mengulangi perbuatannya di masa mendatang. “Ini jalan satu-satunya agar kerugian negara bisa dikembalikan,” harapnya.
Sementara itu, Ketua DPD IMM Sulsel, Abdul Gafur mengaku, tidak terlalu kaget dengan diterbitkannya SP3 mega skandal BLBI Sjamsul Nursalim.
“inilah buah dari revisi UU KPK yang patut diduga disponsori oleh oligarki,” ujarnya.
Revisi ini juga tidak terlepas dari dugaan skenario oleh para pembuat UU yang juga bermasalah. Mereka mengantisipasi jika pada akhirnya mereka ketahuan maling uang negara, punya senjata untuk melepaskan diri sekalipun ditangani KPK.
“Kita ingat betul penolakan publik bahkan ada yang sampai meninggal ditembak aparat namun DPR dan Pemerintah tidak bergeming. KPK juga seperti kejar target untuk segera menyelesaikan skandal ini, bahkan saat tersangkanya masih buron dengan dalih kepastian hukum,” paparnya.
Baginya, SP3 yang dikeluarkan KPK itu menjadi tindakan yang sempurna dari KPK ditengah merosotnya indeks persepsi korupsi.
“Ini semakin mencederai rasa keadilan masyarakat menyempurnakan ketidakadian,” katanya.
Presiden Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Isra Abdi Syamsu mengatakan SP3 KPK untuk kasus BLBI, merusak keadilan masyarakat. Ini dikarenakan sudah melemahnya KPK dengan revisi Undang-Undang KPK yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Kata Isra, seperti yang telah ketahui bersama, lepasnya kasus BLBI yang merugikan negara hingga trilunan, adalah simbol tumpul dan melemahnya KPK sedemikian rupa. ” Kami dari BEM UINAM, masih mengkaji lebih lanjut terkait kasus ini. Harus dirampungkan dulu pendapat apa yang akan disampikan. Sebab, untuk melakukan aksi, perlu bahan dan kesiapan yang matang,” tuturnya. [fajar]