LARANGAN MUDIK dan TERGENCETNYA UMAT ISLAM
LARANGAN umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman sudah final. Umat Islam dilarang pulang kampung pada periode 6-17 Mei 2021. Ini pelarangan kedua kalinya menimpa umat Islam setelah tahun lalu terjadi hal yang sama. Impian menyambut Hari Kemenangan bersama keluarga tercinta harus sirna.
Mudik, sebuah budaya silaturahmi tahunan yang dilakukan secara massal. Ritual ini begitu menyenangkan bagi umat Islam khususnya para perantau yang puluhan tahun merindukan kampung halaman. Momen pertemuan keluarga yang lama tak bersua, terjadi sangat mengharukan, tak bisa ditukar dengan apa pun. Oleh karena itu, besarnya biaya, lamanya perjalanan dan betapa sulitnya aktivitas mudik, tetap mereka tempuh dengan sabar.
Bagi sebagian muslim, mudik bahkan merupakan keharusan karena mereka tidak bisa pulang kampung setiap saat sebagaimana orang lain. Sungguh tega, jika mudik pun dilarang.
Pelarangan ini juga menunjukkan ketidakadilan pemerintah bagi pemeluk Islam. Libur panjang Hari Raya Paskah bulan lalu nyatanya tidak ada larangan, demikin juga mudik untuk Hari Raya Galungam dan Kuningan, semua berjalan lancar tanpa larangan.
Apa sesungguhnya yang ditakuti pemerinitah dari aktivitas mudik? Lihatlah pemudik lokal yang terjadi setiap hari di KRL Jabodetabek. Mereka berdesak-desakan setiap hari. Toh tidak ada kluster corona di KRL.
Jika dibandingkan dengan aktivitas keseharian, jumlah pemudik Lebaran lebih sedikit ketimbang lalu lalang KRL setiap hari. Data PT KAI Commuter mencatat jumlah penumpang KRL Jabodetabek mencapai 1 juta penumpang setiap hari. Sejak musim pandemi dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ketat di Jakarta, turun menjadi 400 ribu orang per hari. Sementara pergerakan aktivitas mudik hanya berkisar 2 jutaan.
Pada masa liburan lebaran 15 hari, nanti bakal ada 7 juta pergerakan manusia melalui KRL. Belum lagi yang lewat motor, mobil, dan angkutan umum lainnya.
Pemerintah membolehkan mudik sebelum tanggal 6 Mei dan setelah tanggal 17 Mei 2021. Tetapi apa bedanya mudik sebelum tanggal 6 Mei 2021 dengan mudik pada kurun 6-17 Mei 2021. Apakah pemerintah bisa mendeteksi virus akan bergerak pada kurun itu?
Bukankah orang mudik, mereka menyebar ke kampung halaman masing-masing hingga ke pelosok desa yang minim kerumunan? Menjadi pertanyaan, apakah yang dilarang itu kerumunan di jalan raya atau kerumunan di desa-desa, di masjid dan surau? Bukankah pada Hari Raya Idul Fitri, baik yang mudik sebelum atau sesudah tanggal 6 Mei 2021 akan berkumpul di waktu yang sama, yakni 13 Mei 2021 saat Idul Fitri?
Umat Islam sungguh terteror dengan kebijakam pemerintah yang tidak adil dan tidak logis ini. Maka tak heran jika KH. Múh. Najih Maimoen dari Rembang dan Habib Abu Bakar Assegaf dari Pasuruan mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi agar mencabut larangan mudik dan menegur Menteri Agama yang pernyataannya selalu konbtroversial.
Pengusaha transportasi juga menjerit atas kebijakan larangan mudik. Pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) meminta agar kebijakan tersebut bisa dicabut.
Larangan mudik hanya bagian kecil dari sikap tak adil pemerintah terhadap Islam. Tiga rentetan kejadian di Kemendikbud dalam satu bulan ini, patut diduga direncanakan dengan matang. Penghapusan agama dari peta jalan pendidikan nasional, penghapusan Pancasila dan Bahasa Indonesia di kurikulum perguruan tinggi dan hilangnya nama KH Hasyim Asy’ar dalam Kamus Sejarah Indonesia menunjukkan upaya penenggelaman Islam dari NKRI makin massif dan radikal.
Pemerintah melindungi penghina Islam tetapi malah memenjarakan pembela Islam. Terlalu banyak contoh untuk diungkapkan. Tetapi yang paling anyar adalah penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh pemuda Cina bernama Jozeph Paul Zhang. Paul mengaku nabi ke-26 dan dengan arogan menantang siapa pun untuk menangkapnya. Videonya telah viral di semua platform media sosial.
Di saat yang sama, ikon pembela Islam, Habib Rizieq Shihab masih dikurung di penjara untuk kasus yang tak ada hubungan dengan perjuangan Islam, yang kelak bisa ditebak akan disangkutpautkan dengan perjuangan Islam. Urusan pasal sangkaan urusan mudah. Kurung dulu, cari pasal kemudian.
Sebagai pemegang saham mayoritas berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak selayaknya Islam diperlakukan demikian jahat. Hanya sedikit umat Islam yang daya sadar dan nalarnya berfungsi dengan baik. Mayoritas umat Islam, tidak tahu, apatis, atau cari selamat.
Para pembenci Islam semakin berani dan terang-terangan melecehkan Islam seiring dengan sikap pemerintah yang terkesan lemah menghadapi minoritas radikal itu.
Terbaca dengan jelas bagaimana pemerintah menampakkan keberpihakannya pada kelompok yang ingin mengobok-obok Islam. Dimulai dari bebasnya buzzer melecehkan Islam, upaya penghapusan pelajaran agama di sekolah, upaya mengganti Ketuhanan Yang Mahaesa dengan Ketuhanan Yang Bekebudayaan, upaya mengganti Assamualaikum dengan Salam Pancasila, memilah-milah penganut Islam di BUMN dan ASN, serta selalu mengaitkan terorisme dengan Islam.
Di kalangan anak muda sekarang banyak yang suka berteori bahwa Islam tidak perlu dibela. Doktrin ini menunjukkan suksesnya kaum pembenci Islam menjauhkan anak muda dari agamanya. Ini bukti pendangkalan akidah telah suskes menyerang generasi penerus bangsa.
Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab dan ikut menjaga akhlak generasi muda, terkesan abai dan melakukan pembiaran. Pemerintah membiarkan Menteri Agama berakrobat menyentil isu isu sensitif Islam. Menteri Agama bukan berada di pihak yang netral dalam menjalankan tugas, tetapi justru menjadi pembela utama minoritas.
Demikian juga dengan Mendikbud Nadiem Makarim yang sejak awal ditunjuknya telah menimbulkan polemik, terus saja melakukan uji coba untuk menjauhkan Islam dari pendidikan nasional.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyebut PKB mempunyai kesamaan dengan Partai Komunis China. Hal ini Cak Imin sampaikan saat menerima kunjungan Dubes Cina untuk Indonesia Xiao Qian di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat Senin (19/04/2021).
Umat Islam diserang dan digencet dari segala arah. Dari medsos, dari internal pemerintah, dari partai politik, dan dari buzzer. Serangan mereka lakukan dengan pola yang hampir sama, terstruktur, masif dan radikal. Di luar mereka, hanya sedikit yang berani melawan, sebab yang berani protes langsung dicap anti-NKRI, kadrun dan pejuang khilafah. Akhirnya yang tersisa manusia-manusia munafik, apatis, dan cari selamat di dunia. Situasi ini dimanfaatkan komunis untuk menguasainya. (SWS).
*Sumber: FNN