Innallaaha ‘ala kulli syai-in qadiir
Oleh: Raden Wisnugroho
Tadi malam, aku pulang dari luar kota sekira jam 1 malam masuk ke Jogja.
Kami lewat ringroad selatan. Di perempatan jalan Parangtritis, ada seorang pedagang asongan softdrink sedang mangkal.
Kuliat dia terdiam saja saat lampu merah dan kami berhenti.
Dari mukanya nampak sekali wajahnya menahan lelah dan kantuk dan sepertinya kurang puas.
Kukira, dia pasti bekerja minimal sejak sebelum waktu berbuka puasa, hingga tengah malam.
Kemudian serta merta aku teringat. Sekitar 20 tahun yang lalu, setiap aku mudik naik bis dari Jogja ke Purworejo, ada 2 orang pengamen yang bergantian ngamen di bis itu. Salah satunya pria, tatoo-nya penuh, sampai leher, rambut pendek. Salah satunya pria juga, tidak bertatoo, rambut gondrong, ada tahi lalat di pojok hidungnya.
Kedua pengamen itu masih saja ngamen hingga sekitar 4 tahun yang lalu, aku masih nemu mereka.
Sekitar 12 tahun yang lalu, beberapa kawan masih sering ngobrol di depan rumah. Lontang-lantung. Sekarang setelah 12 tahun berlalu, mereka semua yang biasa glundhang-glundhung di teras depan rumahku sudah bertransformasi menjadi para juragan. Kekayaannya milyaran. Karyawan puluhan hingga ratusan.
Aku ngerti betul proses yang terjadi pada kawan2ku itu, karena relatif dekat dengan mereka. Tapi tidak begitu paham dengan yang terjadi dengan bapak2 pedagang asongan yang kutemui semalam, dan 2 pengamen yang tekun berjuang sejak sebelum 20 tahun yang lalu, hingga kutemui lagi sekira 4 tahun silam.
Kukira mereka sama2 pekerja keras, sama2 tekun bekerja, dan sama2 istiqamah dalam menekuni apa yang dikerjakan. Tapi kenapa hasilnya berbeda2.
2 tahun yang lalu, aku hampir 10 bulan di Jakarta. Bertemu dengan beberapa orang paling kaya di negeri ini. Hampir setiap hari. Kisah hidup mereka mudah sekali diakses di media dan buku2.
Benang merah di antar semuanya kira2 sama, mereka sama2 tekun, sama2 kerja keras, dan sama2 konsisten mengerjakan apa yang ditekuni selama ini.
Kemudian aku berkaca pada diriku sendiri, saat ini aku relatif berkecukupan. Makan cukup, buat sekolah anak2 cukup, kadangkala bisa menyisihkan sekedar untuk senang2. Yang berbeda dengan orang2 itu adalah: aku bukan pekerja keras, aku tidak tekun, dan aku orang yang tidak mampu istiqamah mengerjakan satu hal secara persisten.
Sore kemarin, aku pergi bersama driver untuk keluar kota. Mengunjungi Ibuk yang sedang sakit. Di perjalanan, aku merenungkan kisahnya Syaikh Abdul Qadir al Jilani.
Suatu hari, SAQJ bersama dengan muridnya bertemu dengan pemabuk. Sepertinya dia mabuk berat hingga kewer2.
Pemabuk itu menghentikan perjalanan SAQJ dengan murid2nya. Murid2nya berusaha mencegah upaya sang pemabuk menghentikan mereka. Tapi SAQJ tetap menghentikan perjalanannya.
Pemabuk itu bertanya kepada SAQJ, “Hai Abdul Qadir, apakah Dia Qadir?”
SAQJ menjawab, “Ya tentu.”
Lalu pemabuk itu bertanya lagi, “Hai Abdul Qadir, apakah Dia Qadir?”
SAQJ menjawab lagi, “Ya pasti.”
Sekali lagi pemabuk itu bertanya, “Hai Abdul Qadir, apakah Dia Qadir?”
SAQJ tidak menjawab, tapi kemudian menangis tersedu dan bersujud merapal doa panjang.
Pemabuk itu pergi meninggalkan SAQJ dan murid2nya.
Kemudian muridnya bertanya kepada SAQJ mengenai peristiwa tersebut.
SAQJ menjelaskan, “pertanyaan pertama maksudnya begini, apakah Allah berkuasa untuk mengampuni aku yang kondisinya seperti ini, tentu kujawab ‘ya tentu.’”
“Pertanyaan kedua maknanya, apakah Allah berkuasa untuk menaikkan maqamku hingga seperti kamu? Kujawab, ‘ya pasti.’”
“Pertanyaan ketiga maknanya, apakah Allah berkuasa untuk menurunkan derajatmu hingga menjadi seperti aku saat ini? Saat itulah aku bersujud kepada Allah memohon perlindungan.”
Kisah SAQJ ditambah dengan penampakan pedagang asongan dan ingatan2 yang lain menambah perbendaharaanku tentang qudrah dan iradah Tuhan.
Betapa logika qudrah dan iradah Tuhan itu berbeda dengan logika proses sebab akibat yang diajarkan oleh kelas-kelas pelajaran Logika Matematika.
Betapa kita melihat orang yang menjalankan proses yang sama, tapi memiliki hasil yang berbeda-beda.
Sikap mental kita selama ini selalu tertutupi oleh keakuan, menggantungkan hasil pada ikhtiar, pilihan2 strategi, ketekunan, kerja keras dan hal2 sejenisnya tapi lupa bahwa sesungguhnya “Innallaaha ‘ala kulli syai-in qadiir.”
Dalam percaturan urusan segala hal, sungguh kerja keras takkan mampu melawan qudrah dan iradah Tuhan. Ketergantungan semata pada diri, akan membuat kita sesat pikir dan sesat jalan. Qudrah dan iradah Tuhan yang menentukan segala hasil dari kerja2 yang dieksekusi.
Dan yang menarik, itu bukan hanya untuk urusan duniawi saja, untuk urusan2 transenden dan spiritual pun, mengandalkan kerja keras saja tidak cukup.
Cocok sekali dengan yang termaktub dalam Hikamnya Ibnu Atha’illah, bahwa semangat dan kerja keras takkan mampu menerobos dinding takdir.[fb]