[PORTAL-ISLAM.ID] Ekonom senior INDEF, Didik J. Rachbini mengaku geram dengan keberadaan 3 kasus pidana di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tiga kasus yang dimaksud Didik J. Rachbini adalah perihal kasus Politisi PKB Usman Sulaiman menjadi gembong narkoba, kasus korupsi penyidik KPK, dan kasus korupsi Bansos.
Didik J. Rachbini pun mengaitkan ketiga kasus tersebut dengan teori bandit.
Menurutnya, teori bandit ini erat kaitannya dengan kekuasaan, demokrasi, politisi, dan penguasa yang hadir pada era modern saat ini.
Didik J. Rachbini menyebut, kekuasaan tanpa rule of law adalah asal muasal dari sistem yang sekarang.
Menurutnya, politik dan politisi di dalam sistem kekuasaan sekarang, sebenarnya adalah hasil dari suatu proses evolusi kelembagaan dari sistem banditisme.
Didik J. Rachbini mengungkapkan bahwa politisi yang tampil sekarang dalam sistem modern bermuasal dari kiprah para bandit yang berkuasa atas masyarakat yang lemah tanpa rule of law.
Hal tersebut didasari dengan keberadaan teori Mancur Olson. Mancur Olson sendiri merupakan pemenang Nobel di bidang ekonomi.
“Bagaimana proses evolusi sistem kelembagaan itu terjadi? Menurut Mancur Olson (pemenang Nobel Ekonomi), sistem kekuasaan berevolusi dalam setidaknya tiga tahap, yaitu: sistem anarkhis, sistem transisi dan sistem demokrasi,” kata Didik J. Rachbini yang dilansir dari akun Twitternya, @DJRachbini, Minggu 25 April 2021.
Pada tahap evolusi tahap pertama, sebelum ada sistem hukum modern, sistem kekuasaan berjalan dalam bentuk sistem anarkhi.
Orang yang berkuasa adalah orang kuat secara fisik, bersenjata dan mampu mengorganisasikan banyak orang untuk mengerahkan kekuatannya.
Orang kuat di dalam sistem anarkhi ini adalah para bandit yang bertindak tanpa rule of law tetapi berdasar kekuasaan semata, menindas, represif.
Ketiadaan aturan main, kekosongan hukum dan hukum rimba yang berlaku, maka orang kuat seperti ini terus berkuasa.
Sistem peradaban yang primitif dan sumberdaya yang terpencar, menyebabkan mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat mencari sumberdaya yang harus dirampas untuk keberlanjutan kelompok dan kekuasaannya.
Sekelompok orang di dalam sistem anarkhi ini oleh Olson disebut bandit yang berpindah (roving bandit) atau sejenis dengan viking yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain merampas harta sambil membunuh pemiliknya.
Bandit berpindah ini adalah penguasa primitif yang memiliki kekuasaan tetapi memiliki kecerdasan kolektif untuk membangun sumber daya atau peradaban untuk mendukung kekuasaannya.
Kekuatan yang menjadi dasar kekuasaan pada tahap ini dengan cara merampok dan menghancurkan desa-desa atau kota-kota untuk diambil hartanya, sebenarnya sama dengan membunuh dirinya sendiri
Akhirnya, sumber daya di daerah tersebut habis musnah dan tentunya cara banditisme seperti ini dapat memusnahkan kelompoknya.
Kemudian hal tersebut menimbulkan kecerdasan baru pada kelompok bandit berpindah ini,
Mereka mulai membangun peradaban, sumber daya dengan cara menetap untuk kesinambungan kekuasaannya.
Maka lahirlah evolusi tahap kedua, yakni kelahiran bandit menetap (stationary bandit).
Evolusi tahap kedua ini berjalan dengan mentransformasikan bandit berpindah menjadi bandit menetap untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pada tahap ini sistem anarki sudah tutup buku dan mulai bergeser menjadi sistem yang lebih teratur tetapi aturan main ditetapkan oleh para bandit tersebut.
Upeti, pajak dan penyerapan sumber daya ekonomi dari rakyat dilakukan oleh para bandit sebagai penguasanya karena dasar kekuatan.
Pada evolusi tahap kedua ini, sifat bandit yang represif, otoriter dalam berkuasa tetap berlaku.
Evolusi menjadi bandit menetap hanya dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan agar tidak krisis dari sumbnerdaya ekonomi.
Pada tahap ini bandit menetap tidak lagi berpindah, merampok, dan menghancurkan semuanya.
Sebagian dari sumber daya tersebut diambil melalui upeti dan sisanya dibiarkan menjadi modal untuk kegiatan ekonomi selanjutnya sehingga ekonomi tumbuh dan berkembang.
Sebagian yang diambil tersebut merupakan upeti terhadap bandit penguasa
Tentu saja, tahap primitif ini tidak selamanya berjalan karena secara kolektif karena semakin banyak orang mendukung sistem menjadi modern berlandaskan hukum, aturan main yang manusia dan adil bagi semuanya.
Maka dari itu, penguasa mulai membangun pemikiran sistem modern berdasarkan humanisme, demokrasi, dan rule of law.
Pada evolusi tahap ketiga ini, evolusi bandit menetap menjadi sistem kekuasaan demokrasi tidak bisa dihindari sejalan dengan kecerdasan kolektif masyarakat, kehadiran lembaga intelektual dan tuntutan zaman yang semakin modern.
Para bandit penguasa tersebut kemudian harus menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan main, rule of law dan sistem demokrasi.
Berdasarkan teori bandit dari Olson ini, sesungguhnya asal muasal politisi dan kekuasaan yang berkiprah di dalam sistem kekuasaan demokrasi adalah hasil evolusi dari para bandit, yang berkuasa tanapa rule of law.
Watak represif, otoriter, menindas dari seorang yang berkuasa tetap hidup dalam perilakunya tetapi tidak muncul jika rule of law berjalan.
Sistem demokrasi, check and balance, dan aturan hukum menutup para bandit penguasa untuk tidak represif seperti bandit berpindah atau bandit menetap.
Jika kekuasaan terlalu kuat dan check and balance mati seperti sekarang ini, maka bandit-bandit penguasa dari puncak sampai bawah akan mulai muncul ke permukaan menunjukkan prektek otoriternya.
Politisi dan bandit adalah pelaku yang serupa tapi tidak sama, memiliki perilaku yang serupa. Jika rule of law dijalankan dengan baik dan sifat-sifat bandit hilang, maka politisi bermetamorfosa menjadi negarawan.
Sebaliknya jika politisi hidup di alam tanpa atau melanggar rule of law, maka politisi menjelma kembali menjadi bandit.
Menurut Didik J. Rachbini, sistem demokrasi yang sekarang sudah mulai nyaman menjadi tanah subur untuk memunculkan bandit-bandit kembali.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan check and balance hancur, penguasa dana kekuasaan semakin besar, eksekutif menguat, maka rule of law potensial diinjak dan evolusi kembali menjadi bandit bisa terjadi.
Selain itu, di era kepemimpinan Presiden Jokowi mengalami pelemahan parlemen, kekosongan kritik dan kontrol, indeks demokrasi turun,
Didik J. Rachbini menyebut, hal tersebut bisa memberi ruang kepada bandit untuk represif.
Dwi fungsi ABRI menjelma menjadi dwi fungsi polisi, maka aparat keamanan masuk ke sistem kekuasaan bertindak represif dimana-mana.
Demokrasi ritual bisa berjalan, tetapi prakteknya ketika kekuasaan di atas hukum, maka bandit-bandit penguasa muncul kembali menjadi represif, berevolusi menuju tahap kedua, bandit menetap.
Dari fenomena tersebut, Didik J. Rachbini mengungkapkan tiga kesimpulan. Kesimpulan pertama, kekuasaan modern, demokrasi dan rule of law lahir dari proses evolusi sistem kekuasaan anarkhi dimana bandit berkuasa merajalela karena kekuatan fisiknya, buka atas dasar rule of law.
Kesimpulan kedua, kekuasaan anarkhi dan bandit berpindah, yang merusak harta benda manusia berevolusi menjadi sitem represif dimana rule of law lemah, sebelujm menjadi sistem demokrasi.
Kesimpulan ketiga, sistem demokrasi bisa tergelincir menjadi sistem represif, minus rule of law yang adil, kemudian penguasa berevolusi terbalik menjadi bandit yang represif atas rakyatnya. [democrazy]