[PORTAL-ISLAM.ID] Saat Khalifah Umar bin Khotthob ditikam, kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Yang menikam saya dari kalangan Arab atau Ajam (non-arab)?”.
Ada sahabat yang bertanya, “Wahai Umar mengapa engkau bertanya seperti itu?” Dengan menahan rasa sakit yang amat perih akibat tikaman pisau, Umar menjawab, “Kalau yang menikamku dari kalangan Arab, ada kemungkinan saya telah berbuat zholim kepada seorang Muslim dan ini bisa menjadi masalah besar bagiku. Tapi kalau yang menikamku dari kalangan Ajam, ada kemungkinan dia dendam karena wilayahnya kita taklukkan. Hal ini tidak menjadi masalah bagiku.”
Apa yang menyebabkan Umar mampu melakukan "muhasabah" saat mengalami penikaman di penghujung usianya?
Hal ini disebabkan Umar selalu berada pada frekuensi spiritual yang tinggi sehingga dalam kondisi mendapatkan musibah saat menjelang wafatpun, beliau masih mendapatkan taufiq dari Allah SWT.
Bagaimana agar kita bisa berada dalam frekuensi spiritual yang tinggi sehingga kita bisa sering berada dalam momentum taufiq sebagaimana Umar? Yaitu waktu kita mampu menggabungkan hal-hal yang nampak kelihatan kontradiktif, yakni perasaan yang tak berdaya tapi pada waktu yang sama kita melalukan kerja keras hingga sampai pada limitnya.
Selanjutnya agar bisa berada di frekuensi spiritual yang tinggi kita dianjurkan untuk menyempurnakan semua itu dengan lantunan do’a:
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ
Allahumma rahmataka arju, falaa takilni ila nafsi tharfaka ainin, ashlihli syani kullahu, laa ilaha illa anta.
“Ya Allah, rahmat-Mu aku harapkan, janganlah Engkau serahkan (segala urusanku) kepada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau.”
(Sebagian taushiyah jelang berbuka oleh ustadz Anis Matta, Ketum Partai Gelora Indonesia, 18/4/2021)