Oleh:Cak Iqbal
SAYA muridnya Effendi Gazali. Sekarang dia sudah tidak mau dipanggil Prof EG.
Saya bisa bayangkan. Orang bisa meliriknya sebagai terlibat korupsi bansos. Padahal faktanya dia adalah saksi yang didalami pengetahuannya untuk seorang tersangka kasus bansos.
Bedanya bak bumi dan langit! Tapi sekelompok jurnalis secara sistematis membunuh karakter EG.
Tersangka Adi Wahyono waktu ditanya, jelas-jelas menjawab: "Tidak ada. Tidak ada!" Tapi wartawannya menulis teks: Adi Wahyono tak menampik keterlibatan EG.
Itu wartawan tak tahu malu. Karena jelas itu adalah berita audio-visual, ada gambar, ada suara jawaban. Dia memaksakan kebusukan niatnya!
Di luar oknum-oknum itu, masih banyak jurnalis yang baik. Dan ini bukan soal pembelaan terhadap seorang guru. Ini membela kemanusiaan! Jurnalisme tanpa kemanusiaan adalah neraka pembantaian.
Nasib UMKM Versus Dewa-Dewa
Sekarang mari kita bahas bansos apa adanya. Menurut media, pemerintah bermaksud mengadakan 22.800.000 paket bansos di Jabodetabek. Tentu harus ada vendor. Kalau jumlah vendor 107, maka harusnya setiap vendor dapat 213.084 kuota.
Pengadaan ini katanya didampingi BPKP, kejaksaan, bahkan KPK. Silahkan koreksi kalau penyataan itu salah. Nah jika ada yang tak beres soal kualitas barang atau suap, apakah pendamping tidak harus dijatuhi hukuman serius???
Nah lagi, presiden kabarnya ingin banyak UMKM yang jadi vendor. Mereka harus siapkan dana pengadaan di depan lho. Lalu di tahap pertama, kabarnya semua sudah diaudit BPKP.
Produknya harus SNI (Standar Nasional Indonesia). Pagu harga masing-masing produk juga sudah tertentu. Belum lagi harus menyediakan barang secepat mungkin untuk tahap pertama (April hingga Mei).
Sekarang andaikanlah Anda pemilik sebuah UMKM, yang dapat 10.000 sampai 20.000 kuota di tahap pertama. Pasti Anda membayangkan akan mendapat setidaknya 100.000 paket sampai tahap 12. Wong jumlah total kuota hampir 23 juta!
Lalu ternyata Anda tak pernah mendapat kuota lagi. Selalu kalah bersaing dengan dewa-dewa. Di gudang, puluhan ribu stok Anda menumpuk. Beras harus difumigasi setiap bulan. Minyak goreng harus dicek kalau pecah. Harus ada biaya pengepakan, perapian, dan penyimpanan. Kalau tidak terangkat sampai akhir, terbayanglah kerugian berapa milyar rupiah.
Yang harus dihitung apakah betul UMKM akan untung besar dalam keadaan begitu? Kalau stok dibeli April atau Mei dan baru (jika mujur) diangkat Oktober atau November. Jangan samakan dengan para dewa yang pasti selalu dapat kuota, maha jumbo pula!
Nah jika Anda memberi rekomendasi seperti Prof EG, dalam sebuah seminar untuk menolong ketidakpastian UMKM itu, dosanya dimana? Selama UMKM itu tidak menyuap, maka tak ada pelanggaran hukum apapun!
Biar fair, ayo kita hitung bersama, UMKM seperti ini berapa untungnya. Apakah masih masuk dalam kewajaran peraturan pengadaan barang dan jasa di Indonesia. Saya yakin Pak EG mau menghimbau UMKM itu menghitungnya di depan publik.
Tapi soal niat busuk beberapa wartawan (tidak semua, karena masih banyak jurnalis yang baik) untuk membunuh karakter seseorang (pasti punya tujuan tertentu dengan disain oleh pihak tertentu), akan dihitung di neraka nantinya. Karena lagi-lagi, jurnalisme tanpa kemanusiaan adalah neraka pembantian!
Masih banyak yang harus kita pelajari dari Prof EG yang ikhlas menanggalkan gelar guru besarnya karena merasa gagal mengajar jurnalisme dan komunikasi di Indonesia.
(Dosen FISIP Universitas Jember)