Selain Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj juga sering membuat kontroversi. Baru-baru ini ia meminta dosen agama di fakultas umum tingkat universitas untuk tidak terlalu banyak mengajarkan akidah dan syariah. Menurutnya, hal itu dapat meningkatkan risiko peningkatan radikalisme.
“Bagi dosen agama yang mengajar agama di bukan fakultas agama, tidak usah banyak-banyak bincang akidah dan syariah. Cukup dua kali pertemuan. Rukun iman dan [rukun] Islam,” Said Aqil dalam sebuah diskusi daring, Senin (5/4/2021).
“Kenapa? Kalau ini diperbanyak, nanti isinya, surga-neraka, Islam, kafir, lurus, benar, sesat. Terus-terusan bicara itu radikal jadinya,” ucap dia. Berdasarkan Qur’an dan Hadist, Said Aqil menjelaskan bahwa manusia tidak hanya ditugaskan untuk melakukan hal-hal terkait teologi atau ‘ilahiyah’ , tetapi juga menyangkut kemanusiaan.
Sebelumnya Said Aqil Siroj juga menyatakan bahwa ajaran Wahabi merupakan pintu masuk terorisme. Ia pun meminta pemerintah membendung paham-paham ini.
“Kalau kita benar-benar sepakat, benar-benar satu barisan ingin menghadapi, menghabiskan, menghabisi jaringan terorisme dan radikalisme, benihnya yang dihadapin, pintu masuknya yang harus kita habisin, apa? Wahabi! Ajaran Wahabi itu pintu masuknya terorisme,” kata Said dalam sebuah seminar virtual, Selasa (30/3/2021).
“Benih terorisme adalah Wahabi dan Salafi, itu ajarannya ekstrem, tekstual, harfiah, puritisasi, dalam rangka memurnikan Islam seperti di zaman rasul, semua dianggap sesat, bid’ah,” ujarnya menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Said Aqil juga menekankan bahwa saat ini bahaya laten yang dihadapi Indonesia bukan lagi paham komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan terorisme dan radikalisme.
“Mohon maaf, saya berani mengatakan bukan PKI bahaya laten kita, tapi radikalisme dan terorisme yang selalu mengancam kita ini,” papar Said.
Ia pun meminta kepolisian tak ragu dalam menindak kelompok maupun jaringan terorisme di Indonesia. Terlebih, agama Islam dan Alquran tidak pernah mengajarkan untuk melancarkan aksi kekerasan, apalagi aksi terorisme hingga membunuh orang lain. “Saya harap kepada polisi tidak ragu, gamang dalam memberantas terorisme. Kalau mau dalil, saya kasih dalilnya,” ujar Said.
***
Pernyataan-pernyataan Said Aqil itu memang perlu dijawab. Pernyataannya bahwa pengajaran akidah dan syariah di kampus hanya perlu dua kali pertemuan, tentu harus dijernihkan. Pelajaran Islam di kampus bukan materi jamnya yang harus dikurangi, tapi metode pengajarannya harus dibenahi. Dengan metode pengajaran akidah dan syariah yang menarik, tentu mahasiswa akan antusias dan mereka tidak akan menjadi teroris.
Pengajaran akidah dan syariah untuk mahasiswa jurusan umum, harus dibingkai dengan metode ilmiah, sehingga mahasiswa semakin yakin kebenaran ajaran Islam. Semakin yakinnya mahasiswa terhadap ajaran Islam, tidak otomatis menjadikan mahasiswa menjadi teroris. Karena dalam waktu yang sama sang dosen akan menjelaskan tentang pentingnya kehidupan toleransi dalam bermuamalah dengan orang-orang kafir.
Bila pengajaran akidah dan syariah diminimalkan jam pelajarannya, maka yang terjadi adalah liberalisasi Islam. Yang terjadi adalah para mahasiswa menjadi tidak tahu kebenaran ajaran agamanya dan akan menganggap semua agama sama. Dari sini akan masuk ajaran liberal, sehingga mahasiswa menjadi tidak terkontrol tingkah lakunya. Jadi kalau menginginkan mahasiswa bagus akhlaknya, maka pelajaran akidah dan syariah harus dikemas dengan menarik sehingga pelajaran ini akan berdampak pada akhlak. Mahasiswa-mahasiswa Islam yang memahami akidah dan syariah Islam secara benar, hampir dipastikan akhlaknya juga baik.
Pernyataan Said Aqil tentang Wahabi dan Salafi jalan masuk terorisme juga perlu diklarifikasi. Karena Wahabi dan Salafi ini adalah sebutan yang bisa mengena kemana-mana. Hamka sendiri dalam tulisan-tulisannya bangga dengan aliran Wahabi. Tentu Wahabi ala Hamka berbeda dengan Wahabi ala Saudi Arabia. Hamka juga menyebut bahwa hubungan Muhammadiyah dengan Wahabi adalah dekat. Salafi ala teroris beda dengan Salafi di Indonesia yang kebanyakan bersifat moderat. Bahkan banyak kelompok salafi yang mengikut ‘ulama pemerintah Saudi’ yang tidak berani mengritik pemerintah. Ada puluhan gerakan yang bernama Salafi di Indonesia.
Jadi Said Aqil harus menjelaskan Wahabi dan Salafi yang mana yang merupakan pintu masuk bagi terorisme. Jangan menggebyah-uyah seenaknya. Kelompok Jamaah Ansharud Daulah adalah kelompok tersendiri yang ‘membolehkan terorisme’ dalam aksi-aksinya.
Pernyataan Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia tentang radikalisme dan terorisme lebih bahaya daripada PKI juga perlu dijernihkan. Radikalisme beda dengan terorisme. Tidak semua orang yang berpaham radikal menjadi teroris.
Bahkan para teroris, banyak yang faham agamanya dangkal, alias tidak radikal. Komunis atau PKI, tetap merupakan bahaya bagi bangsa Indonesia. Karena paham ini tidak mengakui Tuhan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Komunisme dekat dengan liberalisme, pluralisme dan sekulerisme, paham-paham yang diharamkan bagi umat Islam untuk memeluknya.
Sekali lagi, kita mengimbau agar Said Aqil hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Karena masyarakat menganggapnya tokoh Islam, bukan komisaris BUMN yang tidak paham agama. Apalagi ia adalah doktor bidang akidah lulusan dari Universitas Ummul Qura, Saudi Arabia.
(Oleh: Nuim Hidayat)
*Sumber: LINK