Oleh: Mang Udin (Pemerhati Sosial Politik)
Baru-baru ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membangun rumah panggung di wilayah langganan banjir. Persisnya di Kampung Melayu. Untuk sementara, ada 40 rumah panggung yang dibangun. Sebagai pilot project dulu. Anggaran setiap rumah Rp. 78 juta.
Konsepnya, rumah panggung tiga lantai. Lantai bawah untuk dapur dan ruang interaksi sosial. Lantai dua dan tiga untuk keluarga. Dengan begitu, mereka para penghuni tidak perlu bingung ketika terjadi banjir. Penghuni tetap nyaman tinggal di lantai atas.
Ini terobosan ide yang patut didukung. Inovasi baru, karena memang tidak pernah ada sebelumnya. Sebuah nalar kreatif dalam menghadapi masalah banjir. Namun ada saja yang mencemoh 40 rumah panggung yang baru menjadi pilot project tersebut.
Wah, ini proyek nggak bener. Bisa menimbulkan kecemburuan sosial, kata salah seorang anggota DPRD DKI. Yang banjir kan tidak di daerah Kampung Melayu aja. Ada sejumlah wilayah yang menjadi langganan banjir di DKI. Mestinya dibangun serentak, lanjutnya. Nggak apa-apa juga anggota DPRD DKI bilang begitu. Namanya juga kritik. Masukan yang perlu didengar.
Hanya sedikit perlu dijelaskan bahwa pembangunan kota itu bertahap. Ini lumrah, wajar, dan bagian dari umumnya perencanaan. Kalau kita memahami ini, maka tidak perlu menyoal kesetaraan, keadilan, apalagi kecemburuan terkait rumah panggung. Kecuali jika ada yang cemburu karena tidak dilibatkan dalam pilot project. Tetapi, cemburu itu alami. Setiap orang butuh duit kok.
Istilah serentak tidak lazim ada dalam program pembangunan. Pemilu serentak, nah ini baru popular anggota DPRD yang terhormat. Nikah serentak juga boleh, eh maksudnya kawin massal,. Itu juga ada. Tetapi, pembangunan serentak, ini istilah yang agak asing di telinga. Anggota DPRD belajar tentang perencanangan pembangunan, belajarnya di penggiran jalan mana? Kalau belajarnya di selokan, got atau gorong-gorong, kira-kira dimananya ya?
Pelebaran atau pembangunan jalan misalnya, apakah dibangun serentak? Tidak juga. Trotoar, apakah juga dibangun serentak? Tidak juga. Begitu juga LRT/MRY dan normalisasi sungai, apakah dilakukan serentak? Kalau pembangunan ada yang serentak-serentak, tolong tunjukan, kira-kira dimana?
Tak serentak itu bukan berarti tak adil. Tak serentak bukan berarti tak merata. Tak serentak bukan berarti tebang pilih. Ini hanya soal perencanaan, tahapan dan anggaran saja. Untuk berpikir sederhana ini, tak perlu harus pinter-pinter amat. Amat aja nggak pinter-pinter juga.
Warga mungkin tak cemburu. Tetapi, kalau diprovokasi terus-terus, mereka kemungkinan akan was-was juga. Khawatir program rumah panggung tidak berlanjut. Padahal semua butuh proses. Tidak bisa bim-salabim. Tidak bisa abrak-kedabrak. Ini program berkelanjutan.
Maunya, setiap pemimpin ingin menuntaskan semua program dalam semalam. Seperti mitos dalam cerita Roro Jonggrang. Tetapi, kita sekarang hidup di dunia nyata. Tidak hidup di zaman Candi Borobudur ketika didirikan. Mesti anggota DPRD menyadari perlunya proses itu.
Tidak semua pembangunan infrastruktur bisa tuntas dalam satu periode Gubernur. Lihat itu LRT/MRT. Dimulai dengan perencanaan pada masa Gubernur Sutiyoso hingga sekarang belum juga selesai-selesai tuh. Ini namanya program yang berkelanjutan. Masa anggota DPRD tidak paham? Jangan-jangan memang tidak mau paham. Ya, terserah saja kalo gitu.
Saat pendemi dimana anggaran terbatas, ada pembangunan untuk warga tanpa merogoh kocek APBD, tetapi menggunakan Corporate Social Responsibiloty (CSR), dana Baznas Bazis DKI dan Kerjasama dengan institusi lain. Ini sebagai terobosan yang luar biasa. Apalagi, ini diprogram sebagai solusi untuk mengamankan warga dari banjir yang selama ini menjadi masalah tahunan bagi masyarakat Kampung Melayu dan wilayah lainnya. Sebuah solusi cerdas.
Setelah program normalisasi sungai yang berkelanjutan, program naturalisasi sedang berjalan. Penambahan dan perbaikan pompa, serta program penghijauan dan pembuatan sejumlah waduk, rumah panggung adalah solusi tambahan. Meski bersifat lokal, tetapi ini sangat membantu warga untuk keluar dari masalah banjir. Masih juga disalahkan? Kebangetan kau anggota DPRD.
Bagaimana program rumah panggung di wilayah lainnya? Kalibata, Condet dan Pesanggrahan misalnya? Masih ada hari, tanggal, bulan dan tahun. Jakarta belum kiamat. Masih bisa dikerjakan di beberapa bulan berikutnya. Kalau pilot project ini berhasil, nantinya bisa juga dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI.
Bisa menggandeng semakin banyak perusahaan swasta dengan CSR-nya. Bisa juga melalui donasi dari luar negeri. Yang 40 rumbah ini baru pilot project. Lihat dulu, evaluasi efektifitas dan manfaatnya. Jangan buru-buru kebakaran jenggot. Ntar mukamu bisa gosong.
Namun, kalau kritik semata-mata hanya untuk cari panggung, boleh-boleh juga sih. Bisa jadi iklan yang efektif. Tetapi, sesungguhnya ada banyak pilihan cara yang lebih bijak dan elegan untuk manggung. Tidak harus dengan cara menyalahkan apapun yang dilakukan Gubernur Anies. Kecuali ada tugas khusus untuk menyalahkan itu. Jangan-jangan punya spesialisasi disitu. Ya, kita harap maklum saja!
(FNN)