[PORTAL-ISLAM.ID] Para ahli hubungan internasional di Indonesia mengatakan Turki telah menjadi kekuatan baru di North Atlantic Treaty Organization (NATO) di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Para pakar dan analis hubungan internasional Indonesia berbicara kepada Anadolu Agency menyoroti hari jadi NATO ke-72 pada tanggal 4 April 2021, di mana Turki menjadi salah satu anggotanya.
Turki resmi bergabung sebagai anggota NATO pada era perang dingin pada 18 Februari 1952, bersama Yunani (1952), Jerman Barat (1955), dan Spanyol (1982)
Analis Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Mahmudi, mengatakan sebagai anggota NATO, Turki saat ini memainkan peran pengimbang antara kekuatan besar anggota NATO seperti AS,
Posisi Turki di NATO, kata Yon, sangat krusial sebagai kekuatan baru di luar Amerika Serikat (AS) dan beberapa anggota Uni Eropa.
"Turki menjadi penyeimbang antara AS, negara Uni Eropa, bahkan juga tidak di bawah bayang-bayang Rusia," kata Yon, ketika dihubungi Anadolu Agency, pada Senin (22/3/2021).
Dengan perannya saat ini, Yon berharap Turki menjadi kekuatan baru yang menyuarakan kepentingan negara-negara non Barat, seperti di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik.
"Turki diharapkan bisa membawa pendekatan 'soft power' dengan model dialog sehingga tidak terjadi pendekatan militer," kata Yon.
Di Asia Pasifik, kata Yon, di mana eskalasi konflik antara AS dan China semakin meningkat, Turki diharapkan bisa menghindari kawasan ini dari kondisi perang.
"Termasuk dalam konflik di Myanmar dan Laut China Selatan, ketika negara-negara besar anggota NATO menanamkan pengaruhnya, Turki bisa menjadi kekuatan pengimbang agar kawasan ini terhindar dari konflik besar," tambah Yon.
Ramdhan Muhaimin, pakar hubungan internasional Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan Turki di bawah pemerintah Erdogan mampu melesat dalam mempengaruhi politik global.
Bahkan, kata dia, tidak hanya kekuatan politik, Turki juga kini menjadi kekuatan baru ekonomi dan militer di kawasan.
“Ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan militer dan ekonomi, industri dan pembangunan Erdogan,” ujar Ramdhan kepada Anadolu Agency, pekan lalu.
Turki memainkan peran besar dalam konflik 44 hari Azerbaijan-Armenia
Dengan persenjataan Drone Bayraktar TB2 buatan Turki yang dibeli oleh Baku, Azerbaijan berhasil mengakhiri pendudukan hampir tiga dekade beberapa kota dan 300 desa oleh Armenia.
Pendeknya, Turki memainkan peran kunci dalam kemenangan Azerbaijan di Karabahk.
Aktor penyelesaian konflik Suriah
Ramdhan mengatakan, bagi NATO, Turki menjadi kunci dan aktor utama dalam penyelesaian konflik Suriah.
“Jika tidak ada Turki, saya kira persoalan yang dihadapi Eropa hari ini lebih berat lagi, seperti dalam masalah arus pengungsi dan terorisme,” ujar Ramdhan.
Ramadhan mengatakan keterlibatan NATO dalam masalah keamanan di Suriah cukup ‘terwakili’ oleh Turki.
Turki menurut dia memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan lagi positioning dan bargaining power-nya terhadap Barat, NATO dan AS.
Hal itu, kata Ramdhan, bisa dilihat dari bagaimana sikap keras Turki terhadap AS dalam beberapa isu, seperti Suriah, Israel, dan blokade Qatar beberapa waktu lalu.
Saat bersamaan, lanjut dia, Turki menjalin kerja sama dengan Rusia dalam pembelian alutsista pertahanan seperti S-400, yang dikecam AS dan anggota NATO lainnya.
“Tapi AS dan NATO tidak bisa meninggalkan Turki. Karena Turki pemain kunci di Timur Tengah. Tapi ingat juga, Turki bersikap keras terhadap China dalam isu Uyghur,” terang Ramdhan.
Ramdhan membaca situasi ini merupakan politik keseimbangan Turki dalam mengontrol eskalasi ketegangan di kawasan.
Sebab jika konflik dibiarkan, hal itu dapat berdampak kepada Turki secara tidak langsung.
“Apalagi Turki juga menghadapi kelompok PKK/PYD/YPG yang didukung oleh AS,” kata Ramdhan.
Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), sebanyak 6,6 juta warga Suriah harus meninggalkan negara itu, yang sebelum 2011 memiliki populasi sekitar 22-23 juta.
Turki sendiri menampung sekitar 3,7 juta dari orang-orang ini - lebih banyak dari negara lain mana pun di dunia.
Turki juga terlibat dalam perundingan Astana bersama Rusia dan Iran untuk menyelesaikan konflik Suriah.
Pada September 2018, Rusia dan Turki sepakat membangun zona demiliterisasi di Idlib, yang melarang semua tindakan agresi.
Selanjutnya, menyusul kesepakatan antara Turki dan Rusia pada 5 Maret 2020, kontrol negara pihak yang berkonflik atas wilayah Suriah tidak berubah.
Rezim dan pendukungnya sepenuhnya mengontrol provinsi selatan Daraa, Quneitra, ibu kota Damaskus, Latakia, dan Tartus di pantai Mediterania timur, dan Homs di bagian tengah negara itu.
Pasukan rezim juga mendominasi Hama, Aleppo, dan Deir Ez-Zor. Wilayah ini mencakup lebih dari 60 persen negara.
Oposisi hadir di zona demiliterisasi Idlib, wilayah yang dibebaskan dari teroris oleh Operasi Perisai Efrat Turki.
Distrik Afrin dibersihkan dari terorisme oleh Operasi Ranting Zaitun Turki, dan distrik Tel Abyad dan Ras al-Ayn yang dibebaskan oleh Operasi Mata Air Perdamaian di timur dari Sungai Efrat.
Kelompok teroris YPG / PKK, yang didukung oleh AS, menempati distrik Manbij dan Tel RΔ±fat di utara negara itu dan beberapa wilayah di timur Efrat.
Turki jadi benteng pertahanan
Sya’roni Rofii, dosen kajian Eropa Universitas Indonesia, mengatakan Turki memiliki peran penting di NATO, karena dari sisi geografisnya.
Negara ini menjadi benteng pertahanan aliansi untuk mencegah ancaman dari kawasan Timur Tengah terutama di Mediterania, dan ancaman dari Rusia di Laut Hitam.
“Kontribusi pasukan Turki di NATO juga termasuk salah satu yang terbesar,” ujar Sya’roni.
NATO dan Turki, kata Sya’roni, bisa menjadi aktor yang diharapkan dunia untuk mencegah kejahatan transnasional terutama pembajakan di jalur-jalur kargo internasional.
“Termasuk memastikan transisi politik berjalan lancar di negara-negara yang terlibat konflik,” terang dia.
Terkait konflik Suriah, Sya’roni mengatakan sejauh ini Turki telah melakukan langkah-langkah diplomatik menjembatani dialog antara Assad dengan oposisi, termasuk menjadi mediator bersama Rusia.
“Turki juga menjadi penerima migrasi asal Suriah dalam jumlah paling besar,” kata peraih doktor hubungan internasional dari Universitas Marmara, Turki ini.
Selanjutnya, kata dia, krisis di Suriah perlu jalan keluar dengan jangka waktu yang ditentukan.
“Jika dibiarkan berlarut maka harga yang harus dibayar akan lebih mahal,” kata dia.
(Sumber: Anadolu)