Sejarah Penulisan Al-Quran
Beda dengan kitab Taurat yang turun dalam bentuk teks tulisan terukir di atas loh batu tulis, Al-Quran turun dibacakan oleh Malaikat Jibril dalam bentuk suara (audio).
Nabi SAW mendengarkan dan mengikuti setelahnya, lalu meresap ke dalam hati.
Setelah Jibril pergi (setelah menyampaikan suatu wahyu), Beliau SAW lalu memanggil para sahabat tim penulis wahyu, untuk mendiktekan bacaannya kepada mereka.
Tim penulis wahyu ini terdiri dari sekitar 47 orang profesional, dikepalai oleh seorang anak muda berbakat bernama Zaid bin Tsabit. Anggota Tim yang lain juga tak kalah profesional, seperti Ubay bin Ka'ab dan lainnya.
Saat itu yang jadi media penulisannya bukan kertas, tapi kulit hewan, tulang hewan, batu pipih atau pelepah kurma.
Meski ditulis di bawah supervisi Nabi SAW, namun semuanya kala itu masih berserakan dan belum tersusun seperti yang kita kenal sekarang.
Dan dalam keadaan seperti itu, Nabi SAW wafat meninggalkan kita. Di masa Khalifah Abu Bakar, puzzle yang berserakan itu barulah disusun ulang biar urut.
Pedoman pengurutannya tidak berdasarkan urutan waktu turunnya wahyu, tapi berdasarkan sususan Qur'an yang asli di Lauhil Mahfuz, sesuai informasi dan petunjuk dari Nabi SAW langsung.
Abu Bakar (wafat 12 H) memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menyusun puzzle itu lalu dibundel jadi satu, untuk disimpan Khalifah.
Di masa Utsman (w. 34 H), dilakukan standarisasi penulisan yang disesuaikan dengan perbedaan qiraat. Hasilnya berupa sekian banyak versi mushaf standar (mushaf Imam) yang berbeda.
Satu versi dikirim ke Kufah dan disesuaikan dengan versi qiroat orang Kufah. Satu versi dikirim ke Syam, yang disesuaikan dengan versi qiroatnya orang Syam. Satu versi lagi dikirim ke Mekkah, disesuaikan dengan versi qiroatnya orang Mekkah.
Di zaman berikutnya, Abul Aswad Ad-Duali (w. 69 H) menambahkan naqtul i'rab, berupa titik merah di atas huruf untuk fathah, titik merah di bawah huruf untuk kasrah. Dan titik merah di depan huruf untuk dhammah.
Lalu Nashr bin Amin Al-Laitsi (w. 90 H) menambahkan naqtul i'jami, berupa garis miring kecil pada huruf yang mutasyabihat. Agar bangsa non-arab bisa bedakan mana ba', ta', dan tsa'.
Kemudian datang masanya Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (w. 170 H), yang menyempurnakan karya Abul Aswad Ad-Duali di atas, yaitu mengubah titik merah menjadi syakal: fathah, kasrah dan dhammah.
(Ustadz Ahmad Sarwat)