Merampas Paksa Partai Demokrat, Upaya Mengganjal Anies-AHY pada Pilpres 2024?
POLITIK jika tidak dikemas dengan moral, maka yang muncul perilaku tidak terpuji, putus nalar dan bahkan sadistis. Kasus begal Partai Demokrat (PD) bisa jadi contoh untuk dilihat, meski tidak berharap muncul kasus sejenis di kemudian hari.
Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6, menjabat selama dua periode, pastilah tidak pernah menyangka bahwa partai yang didirikannya, PD, harus diacak-acak dengan cara dirampas paksa, coba dimiliki pihak lainnya.
Pihak lain itu, tidak lain adalah Jenderal Moeldoko, mantan yuniornya di ketentaraan dan seseorang yang karier militernya secara tidak langsung dibesarkannya. Diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dan lalu menjadi Panglima TNI, itu saat Pak SBY jadi Presiden. Saat ini Pak Moeldoko menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP).
PD diacak-acak di era Presiden Joko Widodo, Presiden yang menggantikan SBY. Padahal masih teringat dalam ingatan, bahwa kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, juga tidak terlepas dari sokongan SBY. Tampak SBY lebih “memihak” pada Jkw-JK ketimbang Prabowo-Hatta. Padahal Hatta Rajasa adalah besan dari SBY sendiri.
Maka dalam perjalanan sejarahnya, PD yang dipimpin putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), jelas-jelas diperhadapkan dengan Pak Moeldoko, pribadi yang “dibesarkan” SBY. Itu lewat Kongres Luar Biasa (KLB) PD, 5 Maret, di Sibolangit-Deli Serdang, Sumatera Utara.
Direbut paksa, dikudeta, atau bahkan dibegal, itu sekadar istilah dari pengambilalihan dengan cara ilegal dan inkonstitusional. Pak Moeldoko bukanlah kader PD, ia orang luar partai. Bahkan pernah aktif di Partai Hanura.
Kenapa tidak merebut saja Partai Hanura, yang sudah ditinggalkan pendirinya Jenderal (Purn) Wiranto. Saat ini dipimpin Osman Sapta Odang (OSO), yang tengah terpuruk. Jika saja yang diambil Partai Hanura, maka korelasinya untuk mengembalikan partai itu ke Senayan bisa dinalar. Jika itu bisa dilakukan Pak Moeldoko, pastilah namanya akan terangkat.
Bukan Sekadar Begal
Apa yang dilakukan Pak Moeldoko dengan melawan nalar sehat, itu bukannya sekadar merebut partai dan berhenti sampai di situ saja. Ini pastilah tidak berdiri sendiri, tapi sangat mungkin ada korelasi dengan Pilpres 2024. Jika PD tidak dirampas, maka skenario mereka yang menghendaki tetap langgeng bisa mengontrol kekuasaan akan berantakan.
Pilihan PD untuk menjadi partai oposisi, atau biasa disebut penyeimbang, ini dianggap yang nantinya akan menyulitkan skenario yang dibangun itu. Setidaknya ada tiga partai oposisi, meski yang satu oposisi dua kaki yang tidak diperhitungkan, yaitu PAN. Jadi yang jelas oposisi adalah PD dan PKS. Maka skenario mencaplok PD jadi keharusan.
PKS sebagai partai ideologi, rasanya akan sulit jika diacak-acak orang dari luar partai. Konon, sekali lagi konon ya, PKS pun pernah dicoba untuk diacak-diacak dari dalam. Dan yang dihubungi untuk proyek itu adalah Anis Matta dan Fahri Hamzah. Tapi mereka menolak–
sekalipun keduanya memiliki gerbong kekuatan dalam partai itu–meski hubungan dengan kepengurusan yang ada sudah tidak bisa disatukan.
Jika memang “konon” itu benar, maka tabik pada keduanya. Dua pribadi yang turut membesarkan PKS dari nol, dan bahkan partai itu masih bernama Partai Keadilan (PK). Mereka lebih memilih mundur dari PKS, dan lalu mendirikan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia.
Setelah gagal “membujuk” untuk mengacak-acak PKS, maka terpilihlah PD yang harus menerima nasib di-KLB-kan, dan orang luar yang lalu merebutnya adalah Pak Moeldoko. Dibantu oleh para senior PD, yang sebenarnya sudah tidak aktif lagi di PD. Mungkin hanya Jhoni Allen Marbun saja yang masih aktif.
Maka analisa bisa menyebut, bahwa ini bukan pekerjaan Pak Moeldoko semata, tapi lebih pada skenario untuk mempertahankan peran politik yang sudah didapat. Dan jika lalu Kemenkumham menerima hasil KLB PD Deli Serdang, itu sah. Tentu akan ada perlawanan dari PD AHY (ketua PD hasil Kongres V, 2020), dan ranahnya ke pengadilan. Proses di pengadilan bisa makan waktu, dan bisa jadi setelah Pipres 2024, baru ada putusan pengadilan.
PKS lalu jadi partai oposisi yang tidak bisa mencalonkan Capres/Cawapres, itu karena tidak bisa berkoalisi dengan partai lainnya yang sudah masuk dalam gerbong koalisi pemerintah. PKS ditinggal sendirian, ini persis dengan Pilkada Solo, di mana PKS sendiri saja yang tidak memilih Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi, sedang partai lainnya termasuk PD memilih Gibran.
Anies Baswedan Coba Diganjal
Politik memang penuh trik. Sulit untuk dilihat dengan mata telanjang biasa saja, tapi harus dilihat dengan analisa. Tidak sekadar yang tersurat, tapi justru pada tersiratnya itulah tricking menemukan bentuknya.
Anies Baswedan termasuk Capres yang paling diperhitungkan untuk memenangi kontestasi Pilpres 2024. Setidaknya bisa dilihat dari hasil berbagai survei, dimana Anies selalu ada di posisi 2 atau 3, dan itu hampir di semua lembaga survei yang merilis surveinya.
Tentu Anies bukanlah pihak yang disuka oleh mereka yang saat ini menikmati nikmatnya kekuasaan. Anies tidak disuka, tentu karena sikapnya yang tegas, lurus dan on the track. Sikapnya itu bisa dilihat bagaimana Anies “melawan” pihak-pihak yang melakukan proyek reklamasi pulau-pulau buatan, yang hadir tanpa IMB.
Terhadap itu, Anies bersikap tegas tanpa kompromi. Padahal yang dihadapinya bukan saja para pengembang kakap yang bisa melakukan apa saja terhadapnya. Tapi juga Luhut Binsar Panjaitan, yang tampak hadir sebagai pihak yang mem-back up habis-habisan pada proyek reklamasi itu.
Anies sukses mengganjalnya, dan tentu itu menyakitkan. Puluhan triliun uang yang sudah ditanam pada proyek itu menguap. Bukan cuma itu saja, banyak proyek-proyek yang tadinya jadi hengki pengki bancakan, di masa Anies dihentikan dengan keras. Sikap Anies yang demikian tentu amat tidak disuka. Maka mengganjalnya untuk Pilpres buat mereka adalah keharusan.
Karenanya, persoalan PD ini tidak bisa dilihat hanya persoalan PD semata, tapi juga dilihat pada variabel-variabel penyertanya. Maka mengambil paksa PD dengan segala cara, itu buat mereka menjadi satu keharusan. SBY jadi pihak yang tidak lagi dilihat dalam permainan ini.
SBY Tidak Akan Membiarkan
SBY tentu tidak akan tinggal diam. Pastilah tidak rela partainya direbut paksa. SBY akan melawan dengan caranya. Dan itu bisa dengan hal yang tidak terduga. Jika melawan dengan perangkat hukum dimungkinkan, ia akan lakukan itu.
Tapi tentu juga, bisa jadi, SBY akan lakukan perlawanan dengan melibatkan pihak luar (internasional).
Bagaimanapun SBY itu punya kolega di luar yang masih terbina dengan baik. Tidak mustahil ia akan memanfaatkan jaringan yang dipunya itu dengan sebaik-baiknya.
Jika itu yang dilakukan SBY dan PD, maka tampaknya kasus KLB PD itu akan menarik persoalan yang lebih besar, dan pertaruhannya adalah nama negeri yang tercoreng. Tidak mustahil jadi tontonan masyarakat dunia. Memalukan.
Oh ya, merampas PD, itu juga merampas masa depan AHY. Bagaimanapun juga anak muda satu ini, meski belum punya banyak pengalaman politik, ia tampil cukup mengesankan saat Pilkada DKI Jakarta (2017). Meski belum berhasil memenangkan kontestasi itu. Saat itu, ia belum sebagai Ketua Umum PD.
Bagaimana dengan kansnya dalam Pilpres 2024 yang akan datang. Tidak mengecewakan. Anak muda yang tinggi semampai dan ganteng ini dalam berbagai lembaga survei ada di posisi 5 atau 6. Dibanding dengan Pak Moeldoko yang cuma tingkat keterpilihannya ada di nol koma sekian saja.
Mulai digadang-gadang, meski masih prematur, Anies-AHY menuju 2024, dianggap menjadi pasangan yang akan bersuara dalam kontestasi Pilpres. Pasangan milenial, yang sedap dipandang (good looking). Dan mestinya generasi Anies, AHY, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Sandiaga Salahuddin Uno… itulah yang maju dalam kontestasi Pilpres itu. Tapi tampaknya Pak Prabowo masih juga ngebet akan maju lagi. Tidak masalah sih, itu haknya.
*Kolumnis, tinggal di Surabaya
(Sumber: Hidayatullah)