Oleh Rachland Nashidik
CIKEAS, 5 Maret 2021, menjelang tengah malam. Saya terpekur mendengarkan pernyataan pers Pak SBY, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. “Kami, Partai Demokrat, berkabung. Akal sehat telah mati. Keadilan, supremasi hukum, demokrasi, sedang diuji”.
Pak SBY bicara tentang KLB ilegal di Deli Serdang yang menobatkan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menjadi Ketua Umum. Biasanya, Pak SBY tak pernah salah dalam membacakan pidato. Malam itu, tiga kali beliau melakukan kesalahan dan mengulang kalimatnya.
KLB Ilegal dan Konteks Politiknya
Ini semua adalah fakta. Di masa Jokowi, 6 warga sipil dibunuh dan polisi menyatakan mereka tersangka, padahal mereka sudah dikubur. Presiden Jokowi tidak menyesalkan kasus “death in custody” itu, malah mengafirmasi bahwa hukum harus ditegakkan. Seolah pembunuhan itu sesuai dengan hukum dan memenuhi norma-norma hak-hak asasi manusia.
Di masa Jokowi, problem politik identitas dihadapi dengan politik penyingkiran (politics of exclusion) dengan menggunakan Pancasila sebagai wahyu bagi koersi, seperti di masa Orde Baru. Padahal, paska reformasi dulu, kita sepakat menjadikan Pancasila sebagai referensi bagi politik inklusi, yakni menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan merangkul semua warga.
Kenapa kita harus merangkul? Karena Garuda Pancasila memerintahkan “Bhineka Tunggal Ika”, bukan bhineka tanpa ika. Itu tak berarti negara jadi lembek, melainkan, negara harus bertindak pada mereka yang melakukan kekerasan dan teror, tetapi hanya melalui pengadilan.
Di masa Jokowi, oposisi ditangkap, dibui, dipamerkan pada publik dengan tangan diborgol, seolah menangkap teroris berbahaya. Kehidupan pribadi tokoh yang kritis pada pemerintah diintai dan dibuntuti, diekspos oleh kawanan buzzer pada publik, bahkan bila itu membuat keluarganya hancur.
Orang yang menolak pengkultusan Jokowi, atau sekadar tak sependapat dengan kebijakannya, dimusuhi ramai-ramai. Kwik Kian Gie, ekonom sepuh, mengaku tak pernah setakut sekarang untuk berpendapat. Ia dibuli, tapi yang lain bahkan diadukan ke polisi dengan sangkaan ujaran kebencian.
Seolah hate speech adalah soal memaki penguasa, bukan norma hak asasi manusia untuk memerangi diskriminasi pada pihak yang lemah atau minoritas.
Di masa Jokowi, kebebasan berserikat, salah satu hak asasi manusia yang sudah menjadi hak konstitusional, diberangus. Organisasi masyarakat bisa dibubarkan hanya dengan keputusan pemerintah, bukan palu hakim, mirip dengan masa Orba.
Di masa Jokowi, etika politik dibuang. Jokowi tak sungkan menjadi satu-satunya Presiden yang semasa berkuasa mendorong anak dan menantu memenangi Pilkada. Padahal itu sama saja membuka pintu pada aparat negara dan pengusaha untuk diam-diam membantu anak dan menantu demi vested interest pada Presiden. Akibatnya apa? Pemilihan yang bebas dan jurdil menjadi mustahil.
Di masa Jokowi, kebebasan pers konstan berada dalam ancaman: dari mulai digeruduk hingga wartawannya dibuli. Dan sekarang, dimasa Jokowi pula: Negara membiarkan, mungkin bahkan mensponsori, pengambilalihan Parpol secara paksa, oleh pejabat di lingkaran terdalam istana.
Semua itu untuk apa? Demi stabilitas politik bagi pertumbuhan ekonomi? Tapi kenyataannya: ekonomi anjlok. Dari awal Jokowi berkuasa, rerata pertumbuhan ekonomi tak pernah sampai 5 persen.
Pandemi Covid-19 menyerang. Atas nama penanganan pandemi, Jokowi mengeluarkan Perppu. Hak budget DPR dilucuti. Penyusunan APBN diambil ke tangan pemerintah sepenuhnya. Tapi di dalamnya, anggaran untuk kesehatan lebih kecil dibanding anggaran infrastruktur dan Polisi. Padahal Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan jumlah korban pandemi terbanyak.
Memang, jalan tol dan bendungan bertambah. Tapi apakah sepadan menukar kebebasan sipil, demokrasi, supremasi hukum, harmoni sosial dan kesehatan masyarakat dengan jalan tol dan bendungan? Kenapa rakyat Indonesia kembali dihadapkan pada keharusan untuk memilih pembangunan ekonomi dari demokrasi, keamanan dari kebebasan, seperti di masa Orba? Kenapa kita tak boleh mendapat semua secara seimbang? Bagaimana bila setelah semua itu dikorbankan, ternyata di kemudian hari proyek-proyek infrastruktur itu terlantar atau mangkrak, akibat perencanaan yang buruk maupun karena dana tak bisa disediakan?
Malam itu, di Cikeas, usai pernyataan pers Pak SBY, saya merenung. Jadi, apa sebenarnya basis legitimasi dari pemerintahan Jokowi hari ini?
Ekonomi anjlok. Politik mundur. Hukum jadi alat gebuk. Harmoni sosial robek. Kesehatan masyarakat kian memburuk. Apa?
Akal sehat sudah mati?
Bukan SBY Yang Membuat Elektabilitas Demokrat Ambruk
Dalam perjalanan pulang dari Cikeas, saya teringat pada Kongres Demokrat 2010 di Padalarang, JawaBarat. Anas Urbaningrum dalam usia 41 tahun memenangi persaingan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Pesaingnya saat itu adalah Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie. Tak satupun dari tiga kandidat yang berlaga punya hubungan darah dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, Demokrat adalah partai pemenang pemilu 2009. Figur sentral Partai, SBY, adalah faktor utama yang membawa Demokrat memenangi pemilu dengan perolehan suara nasional yang tak tertandingi PDIP sampai hari ini: 20,85 persen.
Namun, kendati sangat mampu memengaruhi pilihan kader, SBY menolak mengambil pihak. Ia menyerahkan pilihan sepenuhnya pada kader.
Maka, Anas memimpin Partai Demokrat. Anak muda, tak punya darah biru politik, memimpin Partai besar pemenang pemilu! Fenomenal dan hanya bisa terjadi di Partai Demokrat.
Tapi menjelang Pemilu 2014, ia menjadi tahanan KPK bersama Nazaruddin. Publik gempar. Jalan demokrasi yang ditempuh Demokrat menuju partai modern, seketika longsor di permulaan jalan. Elektabilitas Partai anjok seperti batu jatuh ke sumur. Menjelang Pemilu 2014, Demokrat ditaksir hanya memiliki sisa elektabilitas 4 persen saja.
Dalam situasi genting, SBY turun gunung. Bersama Ibu Ani, ia berkampanye dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, ke seluruh Indonesia. Jerih payahnya membuat elektabilitas partai terdongkrak menjadi hampir 11 persen. Walhasil, Demokrat tetap satu dari 5 partai besar.
Bukan SBY yang membuat elektabilitas Demokrat ambruk, justru SBY yang selalu mendongkraknya naik.Itu faktanya pada pemilu 2009. Itu pula faktanya pada pemilu 2014, saat semua survei menaksir Demokrat akan tersisih menjadi partai kecil, malah gagal memenuhi parliamentary treshold.
Pada pemilu 2019, Demokrat masih mampu meraih 7 persen lebih perolehan suara nasional, kembali pada modal awalnya dulu di pemilu 2004. Ini membuktikan, memang tak ada jalan yang mudah bagi Partai yang berada di luar pemerintahan. Namun, pada saat bersamaan, itu juga membuktikan, Demokrat sudah punya pemilih inti yang setia, yang jumlahnya mencapai 7 persen suara nasional.
Dalam politik elektoral, itu punya dua arti. Pertama, inilah modal politik yang besar dan berharga, yang pasti diperhitungkan oleh partai politik pesaing Demokrat. Kedua, bagi Demokrat sendiri, modal politik itu tak bisa dipisahkan dari nama Yudhoyono. Inilah takdir politik Partai Demokrat setelah bangkit dari ujian mematikan pada 2014. Suka atau tidak, 7 persen pemilih nasional itu adalah rakyat yang percaya dan setia pada SBY.
Agus Yudhoyono
Patut dicatat, pada masa kampanye Pemilu 2019, Ibu Ani sakit dan wafat di Singapura. SBY setia menemani hingga kekasih hatinya berpulang usai berjuang melawan kanker darah yang ganas.
Adalah Agus Yudhoyono, sebagai Ketua Kogasma PD, yang ditugasi berjuang menggantikan peran SBY dalam Pemilu 2019. Bagi Demokrat, mendorong Agus Yudhoyono sebagai pemimpin baru partai adalah langkah rasional yang sudah dihitung matang.
Andi Arief dan saya adalah saksi hidup dari momen penting dalam sejarah partai pada 2017, ketika Agus Yudhoyono didesak keluar dari dinas TNI untuk menjadi calon gubernur DKI. Saya tak akan lupa, suatu malam di perpustakaan keluarga di Cikeas, Pak SBY dan Ibu Ani terperanjat. Andi Arief menyampaikan keinginan kader agar Demokrat memajukan calon gubernur dari dalam lingkaran partai sendiri untuk Pilkada DKI. Orangnya, tak lain, Agus Yudhoyono.
“Jangan, Andi, pilkada DKI itu bakal sangat keras. Bloodshed”, kata Pak SBY. Saat itu, Pak SBY sudah melakukan survei untuk menemukan siapa punya elektabilitas cukup untuk menandingi calon-calon dari partai lain. Hasilnya, seingat saya, Yusril Ihza Mahendra ada di puncak survei. Tapi para kader di Jakarta terap berkeras agar Demokrat memajukan calon dari dalam Partai Demokrat saja.
Selang sehari kemudian, saya mengirim SMS ke nomor Ibu Ani. Isinya agak lancang. “Sebagai Ketua Umum Partai, Pak SBY memiliki tanggungjawab mempertimbangkan suara kader yang menginginkan Mas Agus. Mohon dengan hormat Ibu dan Bapak berkenan membujuk”. Lalu saya menutup SMS itu dengan mengutip Sutan Sjahrir: “Ini pasti bukan pilihan mudah, tapi hidup yang tak dipertaruhkan tak dapat dimenangkan”.
Dalam pikiran saya, ini memang pertaruhan. Tapi bukan tanpa perhitungan. Bila Agus menang, ia mendapat kesempatan menempa kepemimpinan di Jakarta. Bila kalah, tak soal benar, sebab Pilkada DKI itu diikuti oleh mata dan telinga seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah palagan penting yang akan membuat nama Agus Yudhoyono dikenal secara nasional. Keduanya sama-sama modal berharga untuk karir politiknya ke depan.
Esok harinya, Ibu Ani membalas SMS saya, pendek saja. “Agus tidak mau”. Andi Arief dan saya bergegas menemui lagi Pak SBY di Cikeas. Sudah ada beberapa tokoh partai lain, sahabat keluarga, dan kader-kader senior Demokrat di situ. Saya perhatikan, Ibu Ani kelihatan selalu memalingkan muk dari saya. Dalam hati saya, ada perasaan bersalah. Apalagi sore itu Mas Ed , begitu saya memanggil Pramono Edhie Wibowo , dan Mas Gatot Suwondo “melabrak” saya. “Lu dan Andi jangan ngerjain keponakan gua!”.
Tapi sejarah berjalan sering tanpa meminta persetujuan kita. Agus Yudhoyono, setelah mendengar pendapat dari beberapa senior terdekat, justru akhirnya memutuskan bersedia maju menjadi calon gubernur DKI. Itu adalah keputusannya sendiri. Kami semua, tanpa kecuali, hanya menyampaikan aspirasi kader Demokrat.
Kita tahu, ia kemudian kalah. Kita tahu, ia berpidato menerima kekalahan secara ksatria, dan dengan itu, dalam usianya yang masih muda, ia memberi teladan tentang kematangan dan fairness dalam berpolitik. Kita juga tahu, ia tak patah oleh kekalahan. Ia terus bergerak dan namanya kian dikenal dan diperhatikan secara nasional. Bahkan, namanya kini disebut secara konsisten oleh sejumlah survei sebagai tokoh yang diperhitungkan bagi kepemimpinan nasional. Partai Demokrat berhasil melahirkan dan menempa pemimpin baru!
Bagi Demokrat, Agus Yudhoyono adalah manifestasi dari dua hal dalam politik elektoral: politik memori dan politik harapan. Agus adalah manifestasi dari politik memori karena ia menyandang nama Yudhoyono: Presiden RI ke-6 selama dua periode. Ada 7 persen pemilih nasional yang merasakan, mengingat dan berterimakasih pada kebijakan-kebijakan SBY. Merekalah pemilih inti Demokrat yang setia dalam empat Pemilu. Ini adalah modal politik penting yang harus, tapi juga hanya, bisa dijaga oleh Agus Yudhoyono.
Bagi Demokrat, Agus pada sisi lain adalah manifestasi dari politik harapan. Ia adalah sosok yang cerdas, nasionalis, eks prajurit TNI yang mengutamakan kepentingan negara, dengan karakter kepemimpinan yang menonjol akibat tempaan dan halangan.
Pada Pemilu 2024 nanti, ia akan berusia 45 tahun. Ia diharapkan akan menarik hati para pemilih muda dan pemula yang jumlahnya sangat besar. Bila ia berhasil dalam misi menarik pemilihnya sendiri ini, menambahkannya kepada pemilih setia SBY, maka Partai Demokrat akan mendapat tambahan suara yang signifikan.
Itu bukan misi yang mudah. Tapi Agus Yudhoyono punya peluang bila ia dan seluruh kader Partai Demokrat mampu membawa partai ini lulus dari ujian yang dihadapi hari ini, ujian yang membuat Partai Demokrat menjadi partai nasionalis dengan moral politik yang unggul.
A Perfect Stranger
Sekarang kita kembali ke masalah KLB Ilegal Partai Demokrat. Sebelumnya perlu diingat bahwa Partai Demokrat sesunggguhnya adalah Partai Tokoh. Partai ini dibentuk paska reformasi dengan satu tujuan, hanya satu-satunya tujuan, yakni menjadi kendaraan bagi SBY untuk bertarung pada Pilpres 2004, pemilu langsung dan demokratik pertama setelah interupsi otoritarianisme. Dengan kata lain, SBY adalah alasan bagi pembentukan Partai Demokrat. Tak ada SBY, tak bakal Partai Demokrat didirikan. Sebaliknya, tanpa Partai Demokrat, kecil kemungkinan SBY bisa maju jadi calon Presiden.
Begitulah, Partai Demokrat adalah Partai Tokoh. Dan tokohnya adalah SBY. Maka, dengan genealogi politik Partai Demokrat itu, dan dengan dinamika historisnya bersama SBY, mungkinkah Partai Demokrat punya kemungkinan berkembang yang sama bila dipimpin oleh Moeldoko?
Bagi pemilih Demokrat, Moeldoko adalah a perfect stranger. Pemilih Demokrat tak punya memori apapun tentang dan bersama Moeldoko. Maka, memaksakan Moeldoko menjadi Ketua Umum Demokrat pertama-tama akan membuat 7 persen pemilih inti Demokrat, yakni rakyat yang memilih Demokrat karena merasakan dan mengingat kebijakan-kebijakan presiden SBY, pindah ke Partai lain. Ini adalah kehilangan maha besar bagi Demokrat, baik dalam pengertian moral maupun modal politik.
Kemudian, Moeldoko tak punya peluang sebesar Agus Yudhoyono untuk meraih hati pemilih muda dan pemula. Ia juga tak punya elektabilitas setinggi Agus Yudhoyono.
Pada pemilu 2024 mendatang, Moeldoko akan berusia 67 tahun. Elektabilitas Moeldoko hari ini nol koma sekian persen. Bahkan dalam beberapa survei, namanya tak pernah muncul. Mustahil membayangkan Moeldoko akan memenangi pilpres 2024. Ambisi Moeldoko memang raksasa, tapi peluang politiknya sesungguhnya liliput.
Kesimpulannya, alih alih memenangi Pilpres 2024, Moeldoko justru akan membuat Partai Demokrat ditinggal pemilihnya yang setia dari pemilu 2004 hingga 2019.
“Akal sehat sudah mati”, kata Pak SBY. Tapi, Pak SBY, dengan segala hormat, ini bukan soal akal sehat. Bila pemerintah justru mengesahkan kepengurusan illegal dari KLB illegal itu, urusannya mungkin bukan untuk memenangkan Moeldoko dalam Pilpres 2024, tapi semata-mata untuk menghancurkan Demokrat dan peluang Agus Yudhoyono.
Atau, siapa tahu, hostile take over ini berhubungan dengan desas desus adanya kehendak kekuasaan untuk melakukan amandemen UUD 45 demi mengubah periode jabatan Presiden?
Desas desus? Gosip belaka? Kemarin, rencana Moeldoko mengambil alih paksa Partai Demokrat pun disebut cuma gosip, cuma desas desus.
Ini tentang kekuasaan yang bisa berbuat apa saja.
(Kader Partai Demokrat)