Ketika Jenazah Berstatus Tersangka
Ini bukan film horor murahan, melainkan dagelan hukum dalam perkara penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pada Desember tahun lalu. Kepolisian menyematkan status tersangka kepada korban peristiwa yang oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia disebut sebagai pembunuhan di luar hukum itu.
Berdasarkan rekomendasi Komisi Nasional HAM, kepolisian semestinya menemukan pelaku penembakan para pengawal pemimpin FPI, Rizieq Syihab, itu. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, yang menangani perkara ini, belum berhasil menemukan pelakunya--walau semestinya bukan perkara sulit, karena sebenarnya kolega mereka sendiri.
Penetapan tersangka atas enam almarhum yang sudah dikuburkan pada akhir tahun lalu itu menggelikan. Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah sangat jelas menyebutkan bahwa penuntutan perkara gugur demi hukum jika pelakunya meninggal. Walau kemudian “diralat”, keputusan itu menunjukkan kecerobohan Badan Reserse dalam menerapkan pijakan hukum.
Rekomendasi hasil investigasi Komnas HAM yang diserahkan ke Bareskrim Polri pada awal Januari 2021 cukup jelas. Komnas HAM menyimpulkan dua pengawal Rizieq tewas akibat baku tembak dengan personel kepolisian yang membuntuti rombongan Rizieq. Empat pengawal lainnya tewas ditembak setelah ditangkap hidup-hidup dan dibawa ke mobil polisi. Polisi beralasan mereka ditembak mati karena berusaha merebut senjata petugas.
Dua bulan berlalu, tak ada perkembangan hasil penyidikan yang signifikan di Badan Reserse. Pengusutan untuk membuktikan dugaan penembakan di luar hukum terhadap anggota FPI itu pun jalan di tempat. Rekomendasi Komnas HAM agar pembunuhan dibawa ke ranah pidana malah direspons dengan menyematkan status tersangka kepada enam almarhum.
Markas Besar Kepolisian baru sebatas membebastugaskan tiga personelnya. Langkah ini pun baru diumumkan pada Kamis lalu, setelah muncul polemik penetapan tersangka atas korban tewas. Tindakan ini tentu saja tidak cukup. Polisi harus membuktikan bahwa kasus ini tak berhenti hanya pada pelanggaran disiplin dan etik. Mereka harus menjawab keraguan publik sejak awal terhadap kemauan dan independensi polisi mengusut kasus ini.
Perkara ini juga menjadi ujian bagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang baru dilantik pada akhir Januari lalu. Saat menjalani uji kelayakan calon Kapolri di DPR, Listyo Sigit berjanji akan memimpin penegakan hukum di kepolisian dengan prinsip tanpa pandang bulu. Dalam kasus penembakan anggota laskar FPI, prinsip tersebut bisa diwujudkan dengan cara membuka secara transparan pengusutan kasus. Transparansi penting karena sulit berharap polisi bersikap obyektif dalam memeriksa kawan satu profesinya. Sejauh ini, upaya tersebut belum kelihatan.
Kepolisian akhir-akhir ini mempopulerkan slogan “presisi”, yang merupakan program Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kepanjangannya prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan. Penetapan tersangka atas orang yang sudah kehilangan nyawa, tentu saja, jauh dari bayangan “presisi”.
(Sumber: EDITORIAL Koran TEMPO, Edisi Jumat, 5 Maret 2021)