[PORTAL-ISLAM.ID] Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan, dakwaan atas pelanggaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali karena sudah dikenakan dan membayar denda. Hal itu, menurut dia, karena melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHP.
"Itu namanya ne bis in idem (pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali). HRS tidak bisa diproses dua kali," ujar dia, Rabu (24/3/2021).
"Dari dua hal itu sudah tidak bisa. Jadi, kalau sudah diselesaikan (denda), tidak boleh diadili untuk kedua kalinya," ungkap dia.
Mudzakir melanjutkan, karena tidak bisa diproses dua kali, pengadilan kemudian menggunakan Pasal 160 KUHP. Padahal, langkah tersebut dinilainya juga tidak bisa dilakukan. "Karena, perbuatan pokok itu sudah diselesaikan dengan peradilan denda (HRS sudah membayar denda -red)," tuturnya.
Serupa dengan pelanggaran itu, kata Mudzakir, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhadap Habib Rizieq Shihab. Menurut dia, hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.
"Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor," ujar dia.
Dia melanjutkan, persidangan HRS di PN Jaktim menilik pada locus delicti, maka tidak sah karena tidak memiliki wewenang berdasarkan kompetensi relatif pengadilan itu.
Sebelumnya, saat sidang eksepsi kemarin, Munarman juga menganggap bahwa PN Jaktim tidak berwenang dalam kasus di Megamendung. Karena, pelanggaran itu tidak terjadi di sekitar Jakarta Timur.
Keberatan lain yang disampaikannya dalam draf eksepsi adalah menyoal Pasal 160 KUHP. Pasal itu, kata Munarman, tidak bisa diterapkan pada pelanggaran protokol kesehatan. Terlebih, ketika perkara protokol kesehatan yang melibatkan HRS disebutnya juga telah membayar denda.
"Tidak pernah ada orang di Indonesia yang melanggar prokes lalu membayar denda sebesar Rp 50 juta. Jadi, kalau ini tetap diproses, ini ne bis in idem namanya," ujar Munarman menjelaskan.
Lebih jauh Munarman menyebut, Pasal 160 KUHP adalah pasal yang seharusnya diterapkan pada peristiwa kejahatan. Hal itu berbeda dengan pelanggar protokol kesehatan yang bernada pelanggaran. "Pelanggaran bukan kejahatan. Jadi, kita tolak," kata Munarman.
(Sumber: Republika)