IMPOR BERAS
Oleh: Dahlan Iskan
Yang jadi bisik-bisik ibu rumah tangga adalah: harga cabai meroket sampai Rp 110.000/kg.
Yang jadi bisik-bisik petani adalah: akan ada impor beras lagi sebanyak 1 juta ton. Berarti, kata mereka, harga gabah di musim panen minggu-minggu ini akan jatuh –setidaknya tetap rendah.
Di tengah kegalauan petani itu muncul angin segar: Bulog tidak akan impor beras.
Yang mengatakan itu adalah kepala Bulog sendiri, Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Waseso –seperti disiarkan secara luas oleh media.
Memang, rupanya, ada usulan dari kementerian perdagangan: harus impor beras. Lalu ada keputusan menko perekonomian: impor beras.
Dalam keputusan pemerintah itu Bulog ditunjuk sebagai importernya.
Kelihatannya seperti ada yang tidak nyambung. Tapi Budi Waseso memang sudah terlihat ”independen” sejak menjabat kabulog.
Impor beras saat ini memang bisa seperti pedang berkata lima: akan menyulitkan Bulog, akan menyulitkan posisi politik Presiden Jokowi, akan menyulitkan petani, akan menyulitkan cash flow, dan menyulitkan neraca perdagangan yang sudah sulit.
Menurut angka di Bulog posisi stok beras saat ini memang tinggal 900.000 ton. Angka itu bisa saja dianggap tidak aman.
Khususnya oleh pemerintah. Lengah sedikit bisa terjadi gonjang-ganjing: harga beras tiba-tiba naik dan inflasi terganggu.
Angka inflasi memang telah menjadi kebanggaan baru pemerintah. Di tengah kesulitan pandemi yang panjang ini inflasi tetap terjaga bisa tetap rendah. Prestasi itu sangat jadi andalan prestasi ekonomi pemerintah.
Tidak perlu gelisah dengan kenaikan harga cabai –setinggi apa pun. Harga cabai sudah dikeluarkan dari salah satu parameter penentu inflasi.
Beda dengan harga beras. Harga beras masuk penentu inflasi. Pemerintah akan menjaganya melebihi apa pun.
Dari sini kelihatannya pemerintah tidak mau kecolongan. Stok beras di Bulog sudah biasa dianggap aman kalau di level 1,7 juta ton. Maka stok 900.000 ton sekarang ini dianggap berbahaya.
Memang kebijakan impor beras itu seperti menyengat hidung. Tidak ada berita kemarau panjang. Tidak ada pula berita banjir yang sampai menghancurkan lahan pertanian secara luas. Pun tidak ada berita hama wereng di mana-mana. Ditambah, musim hujan kita begitu basah tiga tahun terakhir.
Dengan keadaan alam seperti itu harusnya produksi beras cukup. Maka berita impor itu benar-benar seperti petir.
Adakah tidak diperhitungkan bahwa minggu-minggu ini sudah memasuki musim panen? Yang angka 900.000 ton di Bulog tadi bisa dengan cepat kembali di atas 1 juta ton?
Pun harus dilihat bahwa di musim panen stok beras tidak hanya ada di gudang-gudang Bulog. Stok itu sebagian besar ada di rumah-rumah penduduk. Kecil-kecil tapi jumlahnya jutaan.
Di luar itu masih harus dilihat keadaan di pasar-pasar beras. Di sana bisa terlihat apakah ada stok beras yang di luar ”beras normal”.
Saya sebut bukan beras normal karena memang ada sejumlah beras yang diimpor lewat jalur khusus: beras khusus. Yang karena sifatnya khusus maka dianggap tidak akan mengganggu petani.
Beras khusus itu diasumsikan tidak menjadi saingan petani kita. Misalnya beras untuk memasak nasi briyani. Petani kita tidak menanam padi jenis itu –karena hanya orang Arab dan India yang memakannya.
Tapi menarik juga untuk dilihat kenyataannya di pasar-pasar beras: apakah hanya beras India yang ada di situ. Atau ternyata ada juga beras-beras Vietnam, Thailand, dan Kamboja yang mendapat izin impor khusus. Yang bisa saja diimpor dengan dalih sama: beras khusus. Misalnya khusus Vietnam atau khusus Thailand. Atau khusus karungnya berwarna partai.
Saya hanya bisa tersenyum ketika membaca penolakan Pak Buwas untuk impor 1 juta ton beras sekarang ini. Rasanya para petani pun akan ikut tersenyum.
24/03/2021
(Disway)