DISKON BESAR Vonis Nurhadi
Bekas Sekretaris MA Nurhadi Dihukum Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Majelis hakim memvonis bekas Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa. Terdakwa kasus suap permainan perkara ini hanya dihukum 6 tahun penjara, dari tuntutan 12 tahun. Hakim pun menolak tuntutan jaksa agar Nurhadi membayar uang pengganti Rp 83 miliar. Hakim berdalih, Nurhadi telah berjasa mengembangkan Mahkamah Agung dan hanya menerima suap serta gratifikasi dari duit pribadi, bukan uang negara. Pegiat antikorupsi menilai putusan itu sarat kejanggalan.
KEJANGGALAN VONIS
Pegiat antikorupsi menemukan sejumlah kejanggalan dalam vonis pidana mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman. Kejanggalan paling menohok adalah majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih rendah dibanding tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan Nurhadi telah berjasa mengembangkan MA. "Pertimbangan hakim ini sungguh tidak logis," kata peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, kemarin.
Zaenur menegaskan bahwa perkara suap dan gratifikasi Nurhadi merusak citra Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir peradilan. Kasus Nurhadi menjadi bukti adanya jaringan mafia peradilan di Mahkamah Agung. Jaringan tersebut diduga melibatkan banyak pihak. Sebab, Nurhadi dengan jabatan sebagai Sekretaris MA tidak berwenang memutus perkara, melainkan mengurus suatu perkara. “Selayaknya Nurhadi divonis lebih berat atau minimal sama dengan tuntutan jaksa KPK,” ujar dia.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tiga hari lalu, memvonis Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Majelis hakim yang diketuai Saifuddin Zuhri menyatakan keduanya terbukti menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 45,7 miliar. Duit sebanyak itu berasal dari pengurusan berbagai perkara di pengadilan, baik tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
Meski terbukti menerima suap dan gratifikasi, hakim memvonis Nurhadi dan Rezky dengan pidana penjara 6 tahun serta denda Rp 500 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Vonis ini jauh dari tuntutan jaksa KPK terhadap Nurhadi, yakni 12 tahun dan Rezky 11 tahun penjara.
Majelis hakim juga mengubah jumlah uang suap dan gratifikasi yang diterima oleh Nurhadi dan Rezky. Hakim menyebutkan keduanya hanya menerima suap Rp 35,726 miliar. Adapun jaksa KPK menyebutkan keduanya menerima suap Rp 45,726 miliar dan gratifikasi Rp 37,2 miliar.
Majelis hakim menyebutkan beberapa pertimbangan yang memberatkan ataupun meringankan kedua terdakwa. Pertimbangan yang memberatkan adalah Nurhadi tidak mengakui perbuatannya, tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, serta merusak nama Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Sedangkan pertimbangan meringankan adalah Nurhadi dan Rezky belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga, dan Nurhadi berjasa dalam mengembangkan Mahkamah Agung.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim meniadakan pembayaran uang pengganti. Hakim beralasan bahwa suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi merupakan milik pribadi pemberi suap dan gratifikasi, serta bukan berasal dari uang negara. Dengan demikian, majelis hakim berkesimpulan tidak ada kerugian negara dalam perkara Nurhadi tersebut. Padahal jaksa menuntut keduanya membayar uang pengganti Rp 83 miliar.
Zaenur menduga vonis ringan terhadap Nurhadi ini mengesankan jiwa korsa alias saling membela di kalangan peradilan. "Rasa jiwa korsa itu masih ada di penegak hukum. Ini tidak terjadi baru-baru ini saja," ujar dia.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan perkara Nurhadi tetap menimbulkan kerugian negara, meski tidak berbentuk materi. "Kasus ini merugikan negara, karena dengan adanya kasus suap ini, keadilan di Mahkamah Agung dianggap bisa dibeli," kata Boyamin.
Ia mengatakan seharusnya Nurhadi mendapat hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa. Sebab, Nurhadi tidak hanya menerima suap dan gratifikasi, tapi juga sempat menjadi buron KPK.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan pertimbangan majelis hakim itu justru bertentangan dengan fakta-fakta di persidangan. Misalnya, Nurhadi telah mencoreng nama Mahkamah Agung dengan memainkan berbagai perkara, dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Nurhadi juga sempat menjadi buron dan tak kooperatif dalam upaya penegakan hukum. "Fakta-fakta persidangan berkata sebaliknya," kata Kurnia.
👉SELENGKAPNYA baca di Koran Tempo edisi Sabtu, 13 Maret 2021