Cak Jancuk Mengaku Tidak Minat Tiga Periode, Temen Tah?

Cak Jancuk Mengaku Tidak Minat Tiga Periode, Temen Tah?

Oleh: Bambang Tjuk Winarno*

Cak Jancuk mengaku tidak berminat menjabat Presiden Republik Indonesia selama tiga periode. Alasannya Indonesia banget. Dia tetap mematuhi Undang Undang Dasar 1945 yang mengatur masa jabatan presiden selama dua periode.

“Cak Jancuk” adalah gelar beradab Suroboyoan untuk Jokowi yang disematkan oleh para pendukungnya. Gelar itu diterima Jokowi saat dia menyapa para pendukungnya dalam kampanye Pilpres di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya dua tahun silam.

Seperti tertulis di banyak media, serempak kompak publik pun berteriak keras, “Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk…..!!!”. Dari atas panggung, Jokowi yang mendengar langsung melebarkan bibirnya, yang dalam bahasa jawa disebut mringis (tersenyum) sambil me_nyungir_kan hidungnya.

Namun tidak ada yang tahu, apa arti mringisnya Jokowi. Yang jelas, Ernawan selaku pimpinan deklarasi dukungan menjelaskan, gelar tersebut bukan umpatan. Melainkan singkatan tertentu yang mengandung arti positif. Penghormatan kepada Jokowi.
Mengenai ramainya rumor kalau Jokowi akan berupaya menjabat presiden tiga periode, telah dibantah Jokowi sendiri. “Saya tegaskan, Saya tidak ada niat. Tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama sama,” kata Jokowi dikutip CNNIndonesia, Senin (15/03/2021).

Tetapi harap diingat. Itu kata Jokowi saat ini. Bukan untuk dua atau tiga tahun mendatang. Memang bisa saja lidah tak bertulang. Tak terbatas kata kata semata. “Tinggi gunung, seribu janji. Lain di bibir, lain di hati”, urai Bob Tutupoly dalam syair lagu lawas “Tinggi Gunung Seribu Janji”.

Nah, kemudian manakala Arek Suroboyo bertanya kepada Cak Jancuk dengan dialek Suroboyoan, boleh ya? Misalnya begini tanyanya, “Temen tah, Cak Jancuk omonganmu gak gelem njabat maneh? Lek sampek mbujuk, koen tak gantung nang Tugu Pahlawan yak opo?”.

Curiga atau tidak percaya kepada manusia itu boleh-boleh saja. Lebih-lebih bila sang manusia tersebut sudah terbukti bolak-balik bohong. Itulah juga karena sifat manusianya. Pastinya dia bukanlah malaikat yang selalu dan tetap konsisten.

Lupakah ucapan Anas Urbaningrum, mantan Ketum Partai Demokrat (PD) waktu itu dalam menepis dugaan korupsi atas dirinya? Dia mengaku, serupiah pun tidak dikorupsi. Jika terbukti korupsi, maka Anas sanggup untuk digantung di pucuk Tugu Monas.

Berulang-ulang sosoknya tayang di layar televisi, menampilkan propaganda anti korupsi. “Katakan Tidak Pada Korupsi”. Begitu bunyi iklannya di berbagai televisi nasional. Bagaimana kenyataannya? Tidak lama setelah iklan itu, Anas dibui terkait kasus korupsi. Itu bukti bahwa kata hati tak sama dengan kata mulut.

Satu lagi bukti inkonsisten seseorang, yang dalam bahasa jawa disebut mbujuki. Bahkan masih gres. Moeldoko mengaku cuma ngobrol sambil ngopi biasa dengan beberapa kader dan pecatan Partai Demokrat. Bukan rembugan mengenai politik.

Itu ditegaskan Moeldoko untuk menolak tudingan rencana kudeta Moledoko atas Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kenyataannya, Moeldoko dimungkinkan bersekongkol dengan beberapa orang pecatan Partai Demokrat. Lalu menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Moeldoko pun keluar sebagai pemenang.

Sebagai Ketum PD Palsu.

Jika Moeldoko berat dibilang berbohong. Tetapi mengapa harus membuat pernyataan berbeda dari kenyataan yang dia lakukan. Mestinya, kalau mau KLB ya bilang saja akan menggelar KLB. Bukan ngobrol sambil ngopi. Kan mbulet namanya.

Dalam logika main bola, Moeldoko adalah orang yang tercatat sebagai pemain saja tidak. Apalagi duduk di bangku cadangan, lebih tidak lagi. La kok mbedudug dinobatkan sebagai juara pertama. Sikembar gundul Upin-Ipin pun lantas tertawa kekeh-kekeh.

Lepas dari misalnya, Kemenkumham nantinya mensahkan kepengurusan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat. Namun pengakuan Moeldoko hanya ngobrol dan ngopi, tanpa embel-embel politik pada pertemuan sebelumnya, bisa disebut bohong.

Beberapa hari usai acara KLB Deli Serdang, Jhoni Allen, dokter hewan pecatan Partai Demokrat yang juga bekas pegawai Kebun Binatang Ragunan, mengaku telah mendaftarkan hasil KLB nya ke Kemenkumham. Dia yakin berkas laporan hasil KLB akan diterima dan disahkankan.

Mengapa harus pakai kata “yakin” bahwa hasil KLB akan diterima dan disahkan Kemenkumham, setelah didaftarkan beberapa waktu lalu. Jika memang merasa benar dan tidak bersalah, tidak perlu harus yakin atau tidak yakin. Mau mendaftar, ya mendaftar gitu saja.

Misalnya jika dalam keadaan normal, A pergi ke rumah B untuk mengambil mobil miliknya yang dipinjam B. Dalam perjalanan ke rumah B, si A tidak perlu punya pikiran “yakin” bisa mengambil mobilnya. Wong mau mengambil mobilnya sendiri kok pakai “yakin”?

Tentu saja perasaan atau psikologis A dalam kondisi safe. Karena A adalah pihak pemilik mobil. Sehingga situasi kejiwaannya dirasakan seakan akan masuk ke domain “pasti” bisa mengambil mobilnya. Kata “pasti” disini bukan dimaksudkan sebagai bentuk melawan kehendak Allah Subhanahu Wa ta’ala, melainkan sekedar sebagai penegas batas psikologis antara jujur dan bohong.

Pada jaman dulu. Katakanlah periode kepemimpinan Pak Harto. Sifat pembohong, kurang ajar, tidak punya malu, amoral dan perilaku buruk lainnya itu cuma dimiliki kelompok tidak terdidik. Atau preman, yang dalam bahasa kasarnya katakanlah maaf “bajingan”. Sehingga waktu itu, pengenalan sosialnya di tengah bermasyarakat antara mana yang bajingan dengan yang terpelajar, itu menjadi jelas dan nyata.

Sekarang telah terjadi kekaburan. Hal itu bukan saja akibat dari terjadinya dekadensi moral. Melainkan akibat dari terjadinya multi kemerosotan sosial. Semua luntur, sehingga sulit membedakan antara manusia dan hewan. Wujudnya saja mungkin yang tidak sama. Namun, moral, akhlak, budi pekerti, tindak tanduk, perilaku, adat, adab serta berbagai norma dan nilai nilai cerminan Indonesia telah tiada.

Nyaris semua lini kehidupan rancu. Terlebih bagi pihak yang bernalar pas-pasan. Mereka pasti kebingungan menilai dan membedakan. Misalnya, Amien Rais itu lurus atau bengkok? Habieb Rizieq Shihab (HRS)itu bajingan atau justru sosok yang mati-matian mempertahankan NKRI? Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zein itu tokoh PKI atau penumpas PKI?

Sebaliknya ,dua orang saja lagi seperti Harun Masiku dan Djoko Tjandra itu bajingan ataukah sosok pahlawan yang selalu menyerahkan jiwa raganya demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia? Bagi para gobloger akan merasa kesulitan membedakan hal tersebut. Bila dimisalkan ke dunia medis, mereka dalam kondisi disleksia, gangguan intelegensia. Gagal paham.

Salah satu penampakan gangguan kesehatan tersebut, adalah sulit membedakan sisi kiri dan kanan. Orang macam ini biasanya keliru mengenakan sepatu sisi kiri di kaki kanannya. Namun bagi para cerdaser yang otaknya waras-wiris gangguan itu tidak berlaku. Mereka selalu jernih melihat. Mana yang kiri, mana kanan? Mana yang bajingan, mana pahlawan?

Laksana memandang awan putih di langit biru. Jelas dilihatnya sebagai gumpalan awan putih yang mengambang diantara langit biru. Kebingungan dan kejenuhan publik akibat munculnya bermacam persoalan yang nyaris tak berkesudahan, mengakibatkan sikap apatis dan apriori.

Disaat seperti itulah publik mulai berada pada kondisi post truth, kesulitan membedakan antara baik dengan buruk, benar dengan salah. Malah bisa-bisa bertukar tempat. Yang salah dibilang benar. Yang buruk dikatakan baik. Itu akibat tumpukan demi tumpukan kebohongan yang diolah sebegitu rupa, sehingga menghasilkan wujud yang seolah olah sebuah kebenaran.

Jika dilakukan secara kontinyu, muncullah logical fallacies di tengah masyarakat. Akhirnya rakyat diajak berpikir, kesalahan itu logis. Misalnya kelak Cak Jancuk jebulnya mencalonkan kembali di periode ke tiga, tentu dengan perubahan UUD 1945, yang tidak sesuai dengan janjinya saat ini, maka itu menjadi logis.

Pembaca FNN.co.id budiman. Dimana pun saudara tinggal, kita berharap bukan saja segera mendapat vaksin Covid-19 yang benar benar mujarab. Melainkan, tak kalah penting, juga selekasnya menemukan vaksin untuk mengobati kedunguan.

*Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

(Sumber: FNN)
Baca juga :