UJI NYALI Hadapi HRS Di Ruang Sidang !!!
Oleh: M. Kamil Pasha, S.H., M.H. (Anggota Tim Penasehat Hukum HRS)
Anda jago berkelahi? Anda kuat secara fisik? Ahli beladiri? Cerdas? Pandai berbicara di luar sana?
Boleh jadi.
Tapi saya yakin anda belum tentu cukup kuat secara mental, jika anda belum pernah menghadapi penahanan berkelanjutan, pemeriksaan di Kepolisian, pelimpahan ke kejaksaan, lalu tetap kuat, tegar, dan berani bersuara lantang dan berteriak tentang kebenaran di ruang persidangan.
Ada kisah dari kawan yang juga lawyer, yang punya klien jawara. Kawan saya bercerita bahwa kliennya terlihat pucat pasi ketika menjalani pemeriksaan di Kepolisian, apalagi ketika terhadap yang bersangkutan dilakukan penahanan. Seketika sang jawara terlihat lemas.
Sudah menjadi rahasia umum dikalangan Advokat bahwa klien akan melembek, frustasi, atau bahkan sebagian meminta agar tim Penasehat Hukumnya menurunkan ‘tensi’ kepada penyidik, JPU atau Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan yang bersangkutan takut mengalami sesuatu yang buruk saat menjalani proses hukum acara pidana.
Pada beberapa kasus besar, mantan pejabat yang berkuasa, mantan jaksa penuntut umum senior, terlihat bingung dan plonga-plongo ketika duduk di kursi terdakwa dalam sidang perkara pidana.
Habib Rizieq malah membuktikan sebaliknya. Beliau tetap kuat, tegar dan berani serta lantang di persidangan, meskipun telah menjalani rentetan pemeriksaan, penahanan. Proses hukum acara pidana yang dijalani selama berbulan-bulan jelas melelahkan fisik maupun psikis, namun beliau tetap sabar.
Sebagai seorang Advokat, saya mengagumi beliau secara tulus, bukan semata karena beliau adalah klien kami. Tapi karena beliau memang hebat di persidangan, bernyali.
Saya tak tahu apa isi hati dan pikiran dari JPU (Jaksa Penuntut Umum), mengenai alasan mereka tidak menghadirkan HRS ke muka persidangan. Padahal, mereka mampu dan hal tersebut mudah saja, karena HRS dan kelima orang eks pengurus FPI dalam kondisi status tahanan pengadilan. Bukan dalam keadaan bebas melancong kesana kemari.
Lokasi tempat beliau ditahan pun jelas, di Rutan Bareskrim Polri. Cukup majelis hakim memerintahkan agar HRS beserta terdakwa lainnya didatangkan ke persidangan, pasti JPU dengan mudah menghadirkan beliau ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanpa kesulitan.
Siapa tahu, sekali lagi siapa tahu, keputusan JPU dan Mejelis Hakim berupaya memaksakan sidang daring dikarenakan pernah melihat atau mengetahui track record keberanian HRS di persidangan. Sehingga berdegup jantung mereka, mengeras otak mereka, dan berkeringat kening dan leher mereka. Lebih baik tak usah berhadapan secara langsung dengan HRS di persidangan.
Jika pandemi COVID-19 dipakai menjadi alasan agar sidang perkara HRS dilaksanakan secara daring, bukankah selama pandemi perkara Djoko Tjandra, Pinangki, Napoleon Bonaparte, Jrinx SID, dan perkara lainnya juga dilaksanakan dengan menghadirkan terdakwa secara langsung di ruang sidang?
Dalam perkara yang sama yakni perkara di RS Ummi, salah seorang yang juga terdakwa yakni dokter Andi Tatat mampu dihadirkan ke muka persidangan PN Jakarta Timur. Padahal dia dalam keadaan tidak ditahan, masih bisa pergi kesana kemari, sedangkan terhadap HRS dan juga Habib Hanif Alatas yang dilakukan penahanan malah tidak mampu dihadirkan.
Artinya dalam kekuasaan pengadilan untuk menghadirkan, malah dipaksakan untuk sidang daring. Tentu hal ini menjadi catatan buruk adanya disparitas dalam penerapan hukum acara pidana, khususnya di persidangan.
JPU dan Majelis Hakim jangan pula berlindung dibalik Perma No. 4 Tahun 2020 untuk memaksakan sidang daring. jika dibaca lebih teliti, dalam Perma tersebut tidak ada kata atau kalimat yang mewajibkan sidang daring, artinya sidang perkara pidana secara daring hanyalah opsi.
Selain itu secara hukum Perma tidaklah dapat mengesampingkan ketentuan hukum acara pidana dalam UU dalam hal ini KUHAP meskipun dalam masa pandemi. Pasal 154 ayat (1), Pasal 164 (1), Pasal 189 ayat (1) dan Pasal 230 ayat (1) KUHAP dengan jelas mengatakan bahwa Terdakwa harus dihadirkan langsung dimuka persidangan, keterangan Terdakwa hanyalah apa yang disampaikannya di ruang sidang. Dan bahwa sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang, bukan ditempat lain, bukan di ruang Bareskrim Polri, apalagi via daring.
Praktik sidang daring selama pandemi di negara maju, dalam hal ini Amerika Serikat, juga didasari dengan UU yang dinamakan CARES act, bukan berupa Peraturan Mahkamah Agung mereka semata. Itupun sidang daring dalam perkara pidana baru dapat terlaksana jika ada persetujuan dari terdakwa.
Perma No. 1 Tahun 2019 yang mengatur sidang online atau E-Court dalam kasus perdata pun mensyaratkan adanya persetujuan para pihak baik dari penggugat / pemohon, maupun dari tergugat / termohon. Jika dalam perkara perdata saja pelaksanaan sidang online menyaratkan adanya persetujuan para pihak. Maka dalam perkara pidana, guna mencari kebenaran materiil dan menyangkut nasib serta hak asasi terdakwa untuk melakukan pembelaan secara maksimal, sepantasnya sidang online harus berdasarkan persetujuan terdakwa.
Dalam hal ini HRS menyatakan tidak bersedia sidang online dan hanya bersedia jika sidang dilaksanakan secara offline di ruang sidang dengan kehadiran beliau secara langsung sebagai terdakwa.
Patut dimaklumi, meskipun memiliki pengalaman atau jam terbang puluhan tahun dalam beracara di persidangan, tidak mudah bagi siapapun yang menjadi JPU atau Majelis Hakim menghadapi keberanian, kekuatan argumentasi, dan lantangnya suara HRS di muka persidangan.
Namun jika masih punya muka, dan nyali serta niat untuk mencari kebenaran materiil, JPU dan Majelis Hakim kami minta untuk menghadirkan Habib Rizieq, Habib Hanif Alatas, KH. Ahmad Sobri Lubis, Ustadz Harris Ubaidillah, Habib Ali bin Alwi, Habib Idrus, dan Ustadz Maman Suryadi ke persidangan secara langsung.
(Sumber: Kiblat)