Zaim Saidi Memang Bukan Permadi Arya
Oleh: Ady Amar*
Generasi pertengahan 90-an awal pasti mengenal nama Zaim Saidi, bahkan akrab dengan namanya. Zaim memang penulis produktif. Hal-hal sederhana di tangannya menjadi sesuatu, saat itu diungkap dalam tulisan.
Zaim Saidi menulis kolom dan opini, setidaknya di MBM Tempo, Koran Tempo, dan HU Republika. Tulisannya selalu dinanti, tulisan ringan tapi tetap powerful.
Zaim penulis buku produktif. Tidak kurang 15 judul buku ditulisnya. Beberapa sempat kubaca, Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan kebangkitan masyarakat, Balada Kodok Rebus: catatan kritis seorang aktivis tentang krisis.
Karya bukunya, Tidak Syar’inya Bank Syariah, termasuk yang best seller. Setelah itu karya-karyanya banyak berkenaan seputar riba, dinar dirham.
Zaim Saidi pribadi yang ingin menjalankan agama yang dipeluknya secara utuh (kaffah). Itu hal semestinya, jika itu menyangkut peribadatan (ubudiyah).
Tidak cuma masalah peribadatan yang ingin utuh ia lakukan. Tapi juga hal-hal menyangkut muamalah keseharian. Sehingga ia terjebak pada pilihan sulit.
Konsep syariah yang ingin ia jalankan bukanlah konsep salah. Justru itu konsep sebenarnya. Namun situasi bernegara menyebabkan adanya ketidaksesuaian konsep, bahkan muncul pertentangan.
Maka yang tampak Zaim menjadi pribadi “kaku”, saat ia paksakan konsep syariah itu pada masyarakat dan negara yang tidak berbasis pada syariah.
Apa yang dilakukan Zaim Saidi membuka Pasar Muamalah di Depok itu, dimana transaksi hanya menggunakan Dinar (emas) dan Dirham (perak), itu bagian dari upayanya menjalankan konsep syariah.
Berita ditangkapnya Zaim Saidi pagi ini, membuat hati memanas. Zaim bukanlah seseorang yang melakukan bisnis penipuan. Dia hanyalah anak manusia yang meyakini dan berkhidmat pada agamanya.
Soal ia salah menempatkan konsep muamalah syariah, karena negeri ini hanya mengenal transaksi berdasarkan Rupiah, itu bisa dipahami.
Tapi tidak harus ia ditangkap, seolah melakukan kejahatan penipuan luar biasa. Cukup diajak dialog dan “diluruskan”, itu manusiawi.
Jika Pak Polisi yang menangkap lalu menginterogasinya itu mengenal dengan baik intelektualitas seorang Zaim Saidi, maka sikap santun patutlah diberikan.
Kita tengah dipertontonkan ketidakadilan menyayat hati, jika melihat bagaimana transaksi mata uang dollar di Pulau Bali itu dilakukan dengan bebas. Tapi tidak dengan Dinar dan Dirham.
Kenapa Zaim Mesti Ditangkap
Kenapa kepolisian tidak menggunakan pendekatan memanggil Zaim sebagai saksi, tidak harus menangkapnya layaknya penjahat.
Zaim Saidi punya catatan sumbangsih kebaikan teramat banyak di negeri ini. Tidak punya cacat sedikit pun apalagi jejak krimimal.
Zaim adalah aktivis kebaikan sejak muda. Itu bisa ditelusuri dalam jejak langkahnya. Pribadi yang memiliki prinsip hidup, tidak dikecoh oleh materi.
Zaim dalam hidup memadukan hablum minallah dan hablum minannas secara berimbang. Hidup dalam dua dimensi yang berimbang di alam materialistik, bukanlah perkara mudah.
Hati sedih melihat diperlakukannya seorang Zaim Saidi, meski tidak semua dari apa yang diikhtiarkannya itu muslim kebanyakan sepakat dengannya.
Ketidaksepakatan dari apa yang diyakini dan diikhtiarkan, itu bukanlah bentuk kejahatan. Itu bagian dari dialektika yang bisa diperdebatkan, meski berakhir dengan tidak sepakat.
Memahami apa yang diyakini Zaim Saidi, itu bagian dari memanusiakan diri sendiri, dan itu dengan melihatnya dengan tidak pakai kaca mata persepsi, tapi proyeksi.
Zaim Saidi memang bukan Permadi Arya, yang meski melecehkan agama dan berujar rasisme, tapi tetap mendapat perlakuan istimewa. Diperiksa hanya sebagai saksi, tentu tidak ditahan. Melenggang bebas.
Sabar ya Mas Zaim…!
(*Penulis kolumnis dari Surabaya, Sumber: Hidayatullah)