Dari Revisi Mundur ke Interpretasi
JAKARTA – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mulai kendur. Alih-alih mengambil inisiatif membentuk tim untuk menggodok usul revisi, pemerintah kini malah berfokus memberikan interpretasi resmi atas pelaksanaan UU ITE.
Sebaliknya, untuk urusan revisi, pemerintah melemparnya kepada DPR. Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro, mengatakan pemerintah mempersilakan DPR merevisi UU ITE dengan alasan undang-undang adalah produk bersama pemerintah dan DPR. “Sehingga, jika ada usaha revisi, silakan DPR bisa berinisiatif,” kata Juri kepada Tempo, kemarin.
Juri tak menjelaskan mengapa pemerintah tak mengambil inisiatif melakukan revisi dan memilih menyerahkannya kepada DPR. Padahal, jika menghendaki, Presiden juga bisa mengajukan rancangan perubahan undang-undang tersebut. Juri hanya menjawab, “Intinya saling memikirkan dan mengevaluasi.”
Karena bola revisi UU ITE dilemparkan ke DPR, pemerintah kini menggodok interpretasi atas ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itu. Juri mengatakan Presiden Jokowi sudah memerintahkan kepolisian untuk lebih selektif menerima pelaporan terkait dengan tuduhan pelanggaran UU ITE.
Kepolisian, menurut Juri, merespons arahan Presiden Jokowi dengan berbagai kebijakan agar penerapan UU ITE mengarah pada keadilan. “Kapolri, misalnya, telah membuat semacam petunjuk pelaksanaan dalam menerima aduan, pelaporan, atau penyelidikan kasus-kasus yang didasarkan pada UU ITE,” ucap dia.
Rencana revisi Undang-Undang ITE bergulir setelah Presiden Joko Widodo memberikan arahan dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara pada Senin lalu. Lewat akun Twitter-nya, Jokowi menegaskan bahwa DPR perlu mengubah UU ITE jika menimbulkan rasa ketidakadilan. “Semangat awal UU ITE ini adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif,” katanya.
Jokowi juga menyatakan, jika implementasi undang-undang itu menimbulkan rasa ketidakadilan, undang-undang itu perlu direvisi. “Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Jokowi.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate juga membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa pemerintah tak akan masuk ke urusan revisi UU ITE. Pemerintah justru menggeser isu revisi ini ke masalah interpretasi ketentuan dalam undang-undang tersebut.
Ia mengatakan pemerintah mendukung lembaga penegak hukum untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE. Ia mengatakan pedoman ini akan membuat penafsiran pasal-pasal dalam UU ITE lebih jelas. “Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati,” kata Johnny.
Ia berujar, pembuatan pedoman interpretasi ini akan dilakukan oleh Mahkamah Agung, kepolisian, kejaksaan, kementerian, dan lembaga. Menurut dia, pedoman ini dibuat untuk memperjelas penafsiran atas beberapa pasal dalam undang-undang itu.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Purnomo menanggapi arahan Jokowi dengan meminta anak buahnya lebih selektif menangani laporan dugaan pelanggaran UU ITE. Ia juga meminta agar para bawahannya lebih mengedepankan edukasi dan upaya persuasif dengan langkah-langkah yang bersifat restorative justice.
Keadilan restoratif merupakan metode penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait. Mereka bersama-sama mencari penyelesaian yang adil. Jadi, kata Listyo, penggunaan ruang siber dan digital bisa berjalan dengan baik. “Ini untuk menjaga agar penggunaan pasal-pasal yang dianggap karet di dalam UU ITE, yang berpotensi digunakan untuk saling lapor, bisa ditekan dan dikendalikan,” ujar dia.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Ika Ningtyas, menilai ucapan Presiden Joko Widodo diterjemahkan berbeda oleh bawahannya. Menurut Ika, pernyataan Presiden Jokowi jelas-jelas mengarah pada revisi Undang-Undang ITE, bukan pada penyusunan pedoman pelaksanaan. “Ini dua hal yang sangat berbeda karena justru masalahnya ada di pasal-pasal UU ITE,” kata Ika.
Ia mengatakan penyusunan pedoman interpretasi UU ITE tidak akan menyelesaikan masalah yang timbul akibat adanya pasal karet. Pasal yang multitafsir dalam UU ITE, kata dia, hanya akan berakibat pada implementasi penyusunan pedoman. “Dengan menyusun pedoman tapi hulu tidak diselesaikan, rumusan undang-undangnya tidak dipersoalkan, maka akan memperburuk implementasinya,” ujar dia.
Ika melanjutkan, jika Presiden Jokowi serius dengan ucapannya, sudah seharusnya Presiden menjelaskan bahwa masalah ini hanya bisa selesai dengan merevisi beberapa pasal UU ITE. Jika pemerintah sudah puas pada pembuatan pedoman oleh kalangan yang tak independen, ia memastikan sengkarut penggunaan UU ITE akan berulang. “Kita akan saksikan hal yang sama. Kriminalisasi dan pemidanaan masih akan tetap terjadi,” katanya.
SELENGKAPNYA ๐Koran TEMPO edisi Kamis (18/2/2021)