Basa-basi Revisi Undang-Undang ITE
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang ingin merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seharusnya merupakan sinyal baik. Namun, untuk menyetip pasal-pasal karet dan represif dalam undang-undang tersebut, Jokowi tak cukup hanya berpidato.
Presiden semestinya segera mendorong revisi melalui proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Jokowi tidak sedang berbasa-basi. Terlebih, pada masa Jokowi, aparat sering kali memakai Undang-Undang ITE untuk membungkam suara kritis terhadap pemerintah. Selama ini, Jokowi pun cenderung diam melihat kelakuan aparatnya.
Data Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara atau SAFEnet, dan Amnesty International, menunjukkan represi atas kebebasan berpendapat dengan menggunakan Undang-Undang ITE naik tajam pada masa Jokowi. Selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pada periode 2009-2014, aparat 74 kali menggunakan Undang-Undang ITE untuk menekan kebebasan berekspresi. Pada era Jokowi, selama periode 2014-2019, angkanya naik tiga kali lipat menjadi 233 kasus
Data lain menunjukkan kegandrungan aparat di era Jokowi memakai Undang-Undang ITE. Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil mengungkapkan, sejak 2016 sampai Februari 2020, penghukuman dengan menggunakan Undang-Undang ITE mencapai 96,8 persen atau 744 perkara. Sekitar 88 persen di antaranya, atau 676 perkara, berujung hukuman penjara.
Dengan demikian, pernyataan Jokowi yang akan meminta DPR merevisi Undang-Undang ITE jika aturan itu tak dapat memberikan rasa keadilan jauh dari memadai. Sebab, ketidakadilan dalam penggunaan pasal-pasal Undang-Undang ITE telah menjadi fakta, bukan pengandaian lagi.
Semangat awal pembuatan Undang-Undang ITE pada 2008 sejatinya untuk melindungi warga negara dari kejahatan keuangan dalam transaksi digital elektronik. Namun pemerintah dan DPR menyelipkan setidaknya sembilan pasal bermasalah dalam undang-undang itu.
Yang paling bermasalah adalah Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama. Aparat sering memakai pasal ini untuk merepresi para aktivis dan jurnalis. Pasal ini juga kerap dipakai menekan “orang biasa” yang mengkritik pemerintah. Ada pula Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, yang rawan menjadi alat represi terhadap kelompok minoritas agama.
Jokowi sudah sepantasnya punya tanggung jawab atas eksesifnya penggunaan pasal-pasal karet dan represif dalam Undang-Undang ITE serta dampaknya terhadap demokrasi. Dalam penerapannya, Undang-Undang ITE telah mengulang penggunaan undang-undang subversi pada masa Orde Baru. Sebagian kasusnya mengarah pada pemidanaan politik, yang menjadi ciri pemerintahan otoriter dan tak pantas hadir di alam demokrasi.
Penyelewengan Undang-Undang ITE juga telah menjalar ke daerah. Pengusaha dan orang-orang kuat di daerah secara serampangan kerap melaporkan mereka yang menyampaikan kritik, atau bahkan sekadar keluhan di media sosial, kepada polisi. Sialnya, polisi pun begitu giat mengusut laporan tersebut dan memidanakan mereka yang menyuarakan haknya.
Walhasil, revisi Undang-Undang ITE sudah sangat mendesak. Tak sekadar beretorika, Jokowi seharusnya segera mengambil inisiatif yang lebih nyata untuk mengubah undang-undang tersebut.
(Sumber: Editorial Koran TEMPO, Rabu, 17 Februari 2021)