Fadjroel Rachman Menilai Kritik Ideal Mesti Berbasis Data, YLBHI Merespons dengan Data Kasus Kritik Warga Berujung Penangkapan

[PORTAL-ISLAM.ID] Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rachman mengklaim UU ITE tidak pernah mengkriminalisasi pengkritik. 

“Tidak pernah ada orang yang ditangkap karena melakukan kritik,” ujar Fadjroel yang secara menjengkelkan konsisten melafalkan UU ITE sebagai “undang-undang ai ti e” saat membahas wacana revisi di Mata Najwa, Kamis lalu (18/2/2021).

Dalam acara malam itu, Fadjroel menyebut usulan revisi UU ITE dari Presiden bukan karena ada pengkritik yang pernah dikriminalisasi, melainkan karena pasal karet dalam UU ITE dipakai masyarakat untuk saling melaporkan. 

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang turut hadir di Mata Najwa membantah pernyataan Fadjroel bahwa tak ada orang yang ditangkap karena kritik. 

“Pernyataan itu kalo dilihat di lapangan paradoks,” ujar Asfin. 

Ia mencontohkan, YLBHI saja mendampingi lebih dari 3.000 orang yang ditangkap hanya karena berdemonstrasi. 

“[Kritik] bukannya nggak didengar, justru ada tindakan balasan: ditangkap. Dan yang dibawa ke pengadilan sedikit sekali, artinya itu bukti penangkapan sewenang-wenang,” tambah Asfin.

Menanggapi Fadjroel Rachman yang mengatakan semua kasus UU ITE selalu punya alasan pidana yang jelas (bukan kriminalisasi), serta menekankan kritik ideal mesti berbasis data, Asfinawati menegaskan tak boleh ada larangan berpendapat tanpa data.

“Di luar itu [kritik yang mengandung ujaran kebencian seperti yang didefinisikan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik], menurut saya [kritik] ga boleh dipidana, bahkan dilarang [untuk dipidana]. Kalau dia [mengkritik] enggak pakai bukti? Ya gapapa, karena kalo begitu orang yang common sense atau dengan hati nuraninya saja, tidak punya data, atau tidak bisa membaca, dia enggak bisa mengkritik dong. Kritik jadi punya elite. Padahal sering kali masyarakat di bawah merasakan dengan hati nuraninya dan dengan jiwa raganya,” ungkap Asfinawati.

Pasal Karet UU ITE

Menurut ahli hukum tata negara Refly Harun, yang juga menjadi nara sumber di acara Mata Najwa, letak karet sejumlah pasal UU ITE ada pada definisi penghinaan dan ujaran kebencian yang tidak jelas. Akibatnya, polisi bisa sewenang-wenang. 

“Cuma masalahnya adalah membedakan kritik, penghinaan, ujaran kebencian, hasutan, provokasi, itu yang enggak jelas [dalam UU ITE]. Jadi ketika orang merasa, ‘Saya menyampaikan kritik,’ tiba-tiba yang muncul di penegak hukum, ‘Anda bukan menyampaikan kritik, tapi anda telah menghina.’”

Ia menambahkan pula, “Permasalahannya kan adalah undang-undang ini memberikan terlalu lebar kewenangan kepada penegak hukum untuk menafsirkan.” 

Kasus pasal karet yang terang-benderang pernah dialami Uril Unik Febrian dan Martha Margaretha pada 2019. Keduanya ditangkap polisi memakai UU ITE atas tuduhan menyebar hoaks hanya karena mengingatkan bahaya gempa.

Masalah lain adalah pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE, yang di atas kertas mensyaratkan delik aduan—karena mengacu pada KUHP Pasal 207. 

Praktiknya, polisi tetap bisa menangkap orang lewat patroli siber meski tanpa menerima aduan pihak yang dirugikan terlebih dahulu. 

Salah satu korbannya adalah Faisol Abod Atis, warga Malang yang pada 2019 dicokok lewat patroli siber polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45a ayat 2.

Mulanya karena Faisol mengkritik Presiden Jokowi yang saat debat pilpres 2019 mengklaim “hampir tidak ada konflik agraria” selama masa pemerintahannya. 

Lewat media sosial, ia menyanggah pernyataan itu dengan mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria bahwa ribuan konflik agraria terjadi sepanjang 2015-2018, menewaskan 41 orang.

Faisol akhirnya diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Malang dengan vonis 10 bulan penjara plus denda Rp10 juta. Selain Faisol, jurnalis Dandhy Dwi Laksono juga dikriminalisasi bermodal laporan dari internal polisi—biasa disebut laporan model A.

Sepanjang pemerintahan Jokowi dari Oktober 2014-Juli 2019, sebanyak 241 orang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas maupun pemerintah, demikian data Amnesty International Indonesia (AII) dikutip Direktur Eksekutif AII Usman Hamid dalam artikelnya di The Conversation. Dari total kasus tersebut, sepertiganya (82 kasus) karena tuduhan “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi.

“Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber,” tulis Usman. 

Ia juga mengutip data SAFEnet pada 2018 yang menyebut, sepertiga dari kasus UU ITE sejak 2008 didominasi laporan dari pejabat negara yang rata-rata menyasar aktivis, jurnalis, pegawai negeri, dan guru.

Selain kriminalisasi, rasa takut mengkritik juga disebabkan potensi serangan digital yang jamak dilakukan, demikian disampaikan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur. “Iya [yang mengkritik jadi terancam]. Karena kriminalisasi dan serangan-serangan digital semakin tinggi," ujar Isnur kepada CNNIndonesia.

Kasus yang dialami peneliti Ravio Patra tahun lalu menjadi preseden unik sekaligus mengerikan terkait serangan digital "misterius" dan kriminalisasi memakai UU ITE. Hanya berselang setengah hari sejak WhatsApp Ravio diretas pada 22 April 2020, ia diciduk polisi di Menteng, Jakarta Pusat karena tuduhan mengirim broadcast pesan ajakan merusuh dan menjarah pada 30 April. Ia dijerat lima pasal sekaligus, salah satunya UU ITE Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian.

Meski sempat ditahan dua hari, tidak jelas siapa yang melaporkan Ravio. Polisi mengatakan laporan datang dari seseorang berinisial DR, sedangkan kuasa hukum Ravio menyebut laporannya adalah model A (laporan dari internal polisi).

[Sumber: Vice]
Baca juga :