[PORTAL-ISLAM.ID] Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengundang polemik di tengah masyarakat. Keberadaannya menjadi perdebatan sejumlah tokoh, diantaranya Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun dan Jubir Presiden Fadjroel Rachman.
Keduanya debat panas dalam program Mata Najwa, Rabu (18/2/2021) malam soal UU ITE dengan mengungkit kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Perdebatan itu bermula usai Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan bahwa polisi selektif dalam menindaklanjuti laporan soal UU ITE. Kata dia, polisi cepat dalam menindaklanjuti laporan orang-orang yang cenderung dekat ke pemerintah.
Sementara, apabila orang-orang oposisi atau yang dianggap kritis melapor, tindak lanjutnya akan lebih lama. Asfinawati mencontohkannya dengan kasus yang menjerat Ravio Patra.
Hal itu ditampik oleh Fadjroel Rachman yang mengungkit dan mempertanyakan kepada Asfinawati soal kasus Ahok dipenjara.
"Bagaimana dengan kasus Ahok yang dekat dengan presiden bahkan jadi wakil. 2016 dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE oleh 14 kelompok masyarakat, divonis bersalah, 2 tahun penjara. Apa pendapat Asfinawati terhadap kasus Ahok," ujar Fadjroel.
"Kalau menurut saya itu artinya pemerintah mencari aman, saya menyesalkan kasus itu," timpal Asfinawati.
Saat ditanya Fadjroel lagi, Asfinawati menjawab bahwa dia merasa Ahok menjadi korban. Sebab, menurutnya penodaan agama tidak bisa didekati dengan agama.
Refly Harun kemudian masuk menimpali dengan mengatakan, harus ada pembedaan terlebih dahulu soal penghinaan dengan delik aduan maupun bukan.
Kata Refly Harun, polisi sebelum menjatuhi pidana bisa melakukan upaya lain seperti mediasi atau rekonsiliasi agar masalah selesai.
"Kalau saya ada jawabannya, kita harus membedakan penghinaan dengan yang bukan delik aduan. Kalau dia bersifat delik aduan, saya katakan harusnya orang yang bersangkutan yang melaporkan atau kuasa hukumnya," terang Refly.
"Di situ polisi mediasi, jangan langsung main pidana. Kalau bisa rekonsiliasi, maka selesai. Tapi untuk yang bukan delik aduan itu inisiatif polisi. Maka polisi harus profesional, modern, terpercaya," sambungnya.
Saat ditanya Fadjroel apakah Ahok korban, Refly Harun menjelaskan lagi soal delik aduan. Namun, hal itu dipotong oleh Fadjorel yang menganggap Refly ragu-ragu.
"Anda ragu," kata Fadjroel.
"Ragunya di mana, coba saya jawab," balas Refly.
"Anda ragu dia korban atau bukan," sahut Fadjroel lagi.
Refly Harun lalu mengatakan bahwa kasus Ahok itu bukan delik aduan. Dia juga menerangkan soal nuansa politik yang ikut terlibat dalam kasus ini dan soal kecakapan polisi.
"Kasus Ahok itu bukan delik aduan. Mas Fadjroel paham gak?" tanya Refly.
"Karena kalau bukan delik aduan, dia diserahkan ke polisi. Makanya saya katakan nuansa politik persaingan 2017-2019 ikut mewarnai semua ini. Polisi sendiri tidak bisa membedakan delik aduan dan delik umum. Delik aduan dianggap delik umum. delik umum dianggap delik aduan. Atau bercambur baur antara penghinaan dan ujaran kebencian," tegasnya menambahkan.
*CATATAN Redaksi: Kasus Ahok itu bukan menggunakan UU ITE tapi pasal Penodaan Agama. Ahok dinyatakan majelis hakim terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama [detikcom]
[Video Debat Refly Harun vs Fadjrol]
[Suara]