[PORTAL-ISLAM.ID] akarta - Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas mengatakan ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dan era Orde Baru. Ia menilai Indonesia kini bergerak ke pola otoritarianisme seperti saat dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Hal ini disampaikan Busyro dalam acara "Mimbar Bebas Represi Koalisi Serius" yang membahas permasalahan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Acara ini menghadirkan sejumlah korban UU ITE.
"Ada kesamaan situasi Orde Baru dengan sekarang ini. Sekarang orang menilai, termasuk saya juga, sudah bergerak kepada otoritarianisme," kata Busyro dikutip dari kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia, Sabtu, 20 Februari 2021.
Busyro membeberkan ada sejumlah indikasi kesamaan situasi saat ini dan Orde Baru. Pertama, kata dia, adalah semakin masifnya kelompok pendengung alias buzzer yang menyerang orang-orang yang kritis terhadap pemerintah dengan berbagai macam cara.
Kedua, penggunaan teror-teror melalui peretasan alat-alat komunikasi dan teror kepada aktivis kampus. Ia mengungkit teror kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ketika akan menggelar diskusi tentang tinjauan konstitusionalitas pemberhentian presiden dengan mengundang Guru Besar Universitas Islam Indonesia Nikmatul Huda.
Sampai sekarang, kata Busyro, pelaporan ke Kepolisian Daerah Yogyakarta terkait peretasan itu tak memberikan hasil yang memuaskan. Adapun indikator ketiga menurut Busyro adalah penerapan UU ITE.
"Menurut hemat saya, UU ITE ini sesungguhnya memiliki karakter, yaitu sebagai wujud pelembagaan buzzer. Jadi buzzer yang dilegalkan melalui UU ITE," ujar mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Busyro mengatakan sudah banyak orang yang menjadi korban para buzzer serta UU ITE. Ia pun mempertanyakan posisi Kepolisian dalam situasi seperti ini, yakni apakah menjadi alat negara atau alat kekuasaan. Pertanyaan serius berikutnya, menurut Busyro, ialah ke mana arah negara yang sekarang dipimpin Presiden Joko Widodo ini.
"Jika maunya jujur dengan Pancasila maka tegakkan norma-norma Pancasila itu dengan menjunjung tinggi demokrasi, menegakkan keadilan sosial, menegakkan prinsip-prinsip musyawarah, berarti tidak ada dominasi kelompok determinan tertentu dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara," ucapnya.
Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan membuka peluang merevisi Undang-undang ITE jika aturan itu dirasa tak dapat memberikan rasa keadilan. Jokowi mengatakan, ia melihat banyak masyarakat saling melaporkan belakangan ini.
Namun sejumlah pihak menyangsikan pemerintah serius melakukan revisi UU ITE. Sebab, sejumlah pejabat pemerintah berkukuh yang bermasalah dari aturan itu hanyalah implementasi di lapangan sehingga yang diperlukan adalah pedoman interpretasi resmi atas pasal-pasal yang multitafsir.
"Tidak berarti kalau ada kasus buruk dengan interpretasi yang salah, UU itu harus diubah. Coba Anda lihat kitab suci pun sering ditafsir masing-masing dan salah," kata Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto dalam diskusi "UU ITE Bukan revisi Basa-Basi", Sabtu, 20 Februari 2021.[tempo]