BLINGSATAN KARENA SEDANG BERSIH
"Wah, gunungnya terlihat. Berarti udaranya SEDANG BERSIH"
Frase SEDANG BERSIH inilah yang tidak bisa diterima oleh haters Jakarta. Mereka pikir Jakarta pastinya selalu menjadi kota tercemar polutan paling tinggi se-Indonesia, bahkan kalau perlu sampai ujung dunia tidak boleh ada kota yang lebih buruk dari Jakarta.
Padahal apa salahnya kalau dibilang SEDANG BERSIH? PSBB beruntun akibat pandemi dan hujan yang turun dari hari ke hari adalah alasan logis kenapa warga mengurangi aktivitas di luar rumah yang berimbas kepada berkurangnya polusi udara dari limbah pembuangan kendaraan bermotor mereka.
Padahal SEDANG BERSIH itu bisa diartikan, ya memang udara saat itu, di hari itu, pada waktu itu udara memamg sedang bersih. Tidak ada kabut asap dan langit cerah pasca hujan sehingga membuat gunung Gede-Pangrango terlihat.
Padahal SEDANG BERSIH itu seyogyanya tidak perlu diartikan SUDAH BERSIH. Karena kondisi udara di Jakarta, maupun kota di belahan bumi manapun pasti mengalami pasang-surut, naik-turun, tinggi-rendah kualitas udara.
Jadi kenapa begitu kepanasan saat pihak Pemprov DKI mengatakan gunung bisa terlihat karena udara SEDANG BERSIH? Kecuali kalau mereka nge-klaim udara di Jakarta SUDAH BERSIH. Karena sedang bersih sehingga kelihatan itu artinya bisa jadi besok atau siangan dikit nanti jika udara sudah tercemar lagi gak akan tuh gunung kelihatan lagi. Beda dengan sudah bersih yang artinya gunung akan selalu terlihat sepanjang waktu.
Dan For Your Information, Anies juga mengakui bahwa membaiknya udara di Jakarta itu disebabksn oleh PSBB terkait Pandemi. Meskipun beliau telah mengeluarkan kebijakan Low Emissions Zona (LEZ) di beberapa area sejak February 2021 yang secara pengamatan berbasis teknologi menyebabkan SO2 dan kadar debu via indeks PM 2,5 semakin berkurang, Anies tidak mengklaim kebijakannya tersebut sebagai penyebab kembali terlihatnya gunung di Jakarta.
Ya, tapi saya coba maklum sih sama orang-orang yang begitu keki melihat warga Jakarta hepi. Karena apa? Ya gak perlu ditanya. Semua akan terlihat salah di mata orang yang tidak terima kalah.
Contoh.
Kalau ada angin segar yang bertiup di Jakarta dan menggugurkan daun-daun.
Kalau idolanya yang mimpin, mereka bakal bilang: "Jakarta seperti Jepang yaa. Daun-daun berguguran menerpa tubuh. Syahdu sekali..."
Tapi kalau lawannya yang mimpin:
"Ini gimana sih daun pada berserakan. Makin lama nih kota makin kotor ajah. Mana kena mata gw. Kecolok woiiii!!!"
Misalnya lagi: Hujan lebat terus mengguyur berhari-hari dan warga kebanjiran.
Kalau idolanya yang mimpin:
"Ini tuh banjir karena hujan terus. Atau perubahan iklim. Atau pengaruh cuaca. Akibat pancaroba. Nyi Roro Kidul bosan di rumah, Elon Musk lagi gerah atau Kuntilanak lagi marah."
Tapi kalau lawannya yang mimpin:
"Ah, dasar gak bisa ngurus kota. Gak bisa kerja. Ngurus banjir ajah gak becus. Banjir terussss nih, woiii. Dasar gaberner!"
Begitu pun yang terjadi hari-hari ini.
Ada gunung yang terlihat kembali di Jakarta mereka bukannya hepi malah nyari alasan mencaci. Blingsatan kesana-kemari menjadikannya materi bully. Saat salah pun tak mau mengakui karena kadung benci.
"Gunungnya tempelan"
Pas dikasih bukti file asli langsung ngeles nyamain tempelan dengan editan. Maunya orang majang foto gak boleh ada editing, gak boleh diperjelas, gak boleh pake lensa pro. Amboiii errornya.
"Saya setiap hari lewat situ koq gak lihat gunung tuh!" Kalau begini pilihannya bisa:
A. Kamu terlalu fokus ke jalanan sehingga gak merhatiin sekitar. Bangun telat, buru-buru kerja, mata siwer, gak bisa multifokus bisa jadi penyebabnya.
B. Kamu sibuk liatin dan nyinyirin mobil orang di depan.
C. Pada saat itu, kamu lagi gak lewat situ.
D. Kamu lewat situ, tapi gunungnya ngumpet gak mau dilihat kamu.
E. Kamu lihat gunungnya, tapi sok pura-pura gak lihat gituh. Terus melengos dan langsung tancap gas karena khawatir ditagih hutang.
Monggo dipeleh...dipeleh...dipeleh. 😅
Ttd
Aisha Rara
Warga Jakarta
Mengapresiasi langkah Pemda Jakarta yang membuat ribuan sumur resapan sehingga banjir di Jakarta cepat surut. Bukan malah melihara Berudu. Karena air memang meresap ke tanah ya, gaes. Bukan dihisap hidung Berudu. 😉