Oleh: Azairus Adlu (rmol.id)
Kritik adalah hal yang lumrah di negara demokrasi tak terkecuali Indonesia. Sejak era reformasi 1998, Indonesia bisa dikatakan adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Predikat itu bertahan sampai sekarang.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah. Demi terciptanya peningkatan layanan publik.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin lalu (8/2).
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI.
Pernyataan itu disambut beragam oleh publik, namun mayoritas melihat pernyataan Jokowi tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat.
Para pengkritik pemerintah kerap kali mendapat perlakuan tidak 'manusiawi' bila mengkritik kerja-kerja pemerintah. Pasukan buzzer siap siaga menjegal kritik yang disampaikan, bahkan kadang melaporkannya ke aparat kepolisian dengan dalih ujaran kebencian, fitnah, melanggar UU ITE.
Salah satunya yakni dua aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, keduanya mengkritik lalu dilaporkan ke aparat, kasusnya berjalan, ditahan, kini masuk fase persidangan.
Tak tanggung, bekas menteri kelautan dan perikanan di periode pertama Jokowi juga diserang habis-habisan oleh buzzer, ini terjadi usai Susi Pujiastuti mengkritik kebijakan perikanan pemerintah, kini tiap unggahan Susi dibanjiri buzzer garis keras pemerintah.
Bahkan orang-orang yang menyatakan diri sebagai relawan Jokowi dan simpatisan partai pengusung juga ikut-ikutan, 'menyerang' habis Susi.
Selain tiga nama tersebut, masih banyak orang-orang yang pastinya juga merasakan tajamnya serangan buzzer atau latahnya mereka mengadukan pengkritik ke polisi.
Sulit untuk dijabarkan, karena jumlahnya tidak sedikit.
Dengan keadaan seperti sekarang ini, agak lucu sepertinya bila Presiden meminta masyarakat untuk aktif memberikan kritikan kepada pemerintah. Bisa dipastikan publik enggan, khawatir oleh kinerja buzzer atau UU ITE.
Ditelaah lebih dalam, apa maksud Jokowi meminta publik memberikan kritikan? bisa jadi, kalau boleh diprediksi, sepertinya ada yang tidak beres dalam ring terdekat Jokowi.
Mungkin saja para pembantu Presiden tidak pernah mengabarkan kendala-kendala yang terjadi selama ini. Mereka hanya melaporkan yang baik-baik saja, 'asal bapak senang'
Namun kenyataan, tidak membuat si bapak senang. Hingga akhirnya Jokowi ingin mendengar langsung suara masyarakat, apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Apakah layanan dan kebijakan pemerintah sudah sesuai dengan apa yang dicanangkan, apa yang diharapkan publik luas.
Sepertinya, Jokowi mulai tidak nyaman mendapat laporan yang bagus-bagus saja, padahal kinerja di lapangan melempem, bahkan mengkhawatirkan.
Kalau memang kejadiannya seperti itu, Jokowi harus berani mengambil siasat, bagaimana caranya mendapat informasi valid dari luar, yang bisa jadi berbanding terbalik dengan apa yang dilaporkan para bawahannya.
Lalu tertibkan buzzer, beri pemahaman kepada relawan dan simpatisan, bahwasanya negara demokrasi yang baik perlu mendapat kritikan, khususnya dari luar pemerintahan, agar jalannya program pemerintah bisa tepat sasaran dan publik terpuaskan lahir batin.