Oleh: Putu Setia
Ini pertemuan kedua saya dengan Romo Imam di tahun 2021. Panjang-lebar kami ngobrol tentang musibah yang menimpa pesawat Sriwijaya Air. Kecelakaan pesawat adalah tragedi yang sangat memilukan sekaligus misterius, kenapa itu terjadi. Karena itu, penting mencari penyebab kecelakaan yang terekam pada alat yang disebut kotak hitam. Pencarian itu sendiri menghadirkan drama keuletan para penyelam.
“Kita selalu belajar banyak dari musibah pesawat terbang. Tapi sudahlah. Yang juga menyedihkan adalah musibah pandemi Covid-19. Kita selalu tak mau belajar dari kesalahan dalam menangani pandemi ini. Yakni komunikasi kita yang buruk,” kata Romo.
Saya agak kaget, tiba-tiba pembicaraan ke masalah pandemi corona. Barangkali Romo sudah bosan bicara tentang kecelakaan pesawat yang begitu menyita tayangan televisi. “Komunikasi kita yang mana yang buruk itu, Romo?” tanya saya. Romo tertawa. “Sejak awal pandemi, komunikasi kita kacau. Soal penting-tidaknya dan siapa yang patut mengenakan masker. Soal jenazah terpapar Covid-19, lalu soal rapid test dan tes antigen dalam kaitan perjalanan orang. Kini soal vaksin,” ujar Romo.
“Divaksin itu penting, kan, Romo?” saya menyela.
Romo langsung menyambar, “Sangat penting. Dibutuhkan Rp 70 triliun untuk program vaksin ini. Tapi apa yang dilakukan pemerintah? Komunikasi yang buruk membuat masyarakat bertanya-tanya, di mana efektivitas vaksin itu? Kenapa vaksin yang dipakai Sinovac buatan Cina? Kenapa bukan Pfizer atau Moderna? Kenapa usia tertinggi yang divaksin 59 tahun, padahal penerima vaksin pertama di dunia adalah Margaret Keenan di Inggris yang usianya 91 tahun? Kenapa pemerintah sudah membuat jadwal jauh hari, vaksin dimulai pada Rabu, 13 Januari. Padahal BPOM dan MUI belum mengeluarkan izin darurat dan sertifikat halal saat jadwal diumumkan. Pada akhirnya orang berpikir, jangan-jangan BPOM memaksakan izin darurat itu diterbitkan agar jadwal pemerintah tak berubah. Ini jadi perbincangan di masyarakat, ada apa di balik vaksinasi itu?”
Saya memancing Romo, “Memangnya banyak yang menolak divaksin?”
Romo Imam makin bersemangat, “Itu politikus PDIP, Ribka Tjiptaning, terang-terangan dalam rapat kerja DPR menyebutkan menolak divaksin. Bahkan, jika didenda, dia memilih bayar denda ketimbang divaksin. Ini dari partai terbesar pemenang pemilu dan pendukung utama Jokowi. Kalau wakil rakyat saja begitu, bagaimana dengan rakyatnya? Ini tanda kurangnya komunikasi betapa pentingnya vaksinasi itu. Padahal Prof. Abdul Muthalib, dokter yang menyuntikkan vaksin ke Jokowi, punya cara komunikasi yang jitu. Beliau menyebutkan, vaksinasi bukan masalah kesehatan pribadi saja, tapi juga mencegah penularan dan membentuk herd immunity. Imunitas kolektif ini bisa terjadi jika 70 persen orang divaksin. Artinya, orang divaksin tak hanya melindungi dirinya sendiri, tapi juga untuk melindungi orang lain yang tak bisa divaksin, seperti orang usia lanjut, orang punya penyakit bawaan akut, dan seterusnya. Anda mau berbuat baik untuk melindungi orang lain? Ayo divaksin.”
Saya menyeletuk, “Setelah divaksin, kita bisa bebas tanpa masker, ya, Romo.”
Romo Imam tertawa. “Sampeyan salah besar. Vaksin tidak serta-merta melenyapkan corona. Kita tetap ikuti protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Kalian ini mau meniru Raffi Ahmad? Pagi-pagi diundang ke Istana untuk ikut divaksin bersama Jokowi, malamnya ketemu teman-teman artisnya tanpa masker. Ini lagi-lagi kesalahan komunikasi pemerintah, kok, masih percaya kepada selebritas yang labil untuk kampanye vaksin. Aduh…”
“Oh…,” saya ikut tertawa. “Pemerintah sering kecolongan pada hal-hal yang kecil.”
(Sumber: Koran TEMPO, Sabtu 16/1/2021, Judul "AYO DIVAKSIN")