Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir pada beberapa hari terakhir.
Setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel, kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter.
Hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab.
"Memang ada beberapa daerah yang dikepung banjir, tapi ada dua daerah yang terparah yang menjadi fokus kita," ujar Kepala Basarnas Banjarmasin Sunarto, dilansir dari pemberitaan Kompas.com, Selasa (12/1/2021).
Dua daerah terparah yang dimaksud Sunarto yaitu Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut.
Saat dikonfirmasi, Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menegaskan banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.
"Iya, lebih parah dari 2020 kemarin. Hari ini (Kamis) terutama," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (14/1/2021).
Lantas, benarkah banjir di Kalsel hanya dikarenakan karena hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir?
Jefri mengatakan, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung.
Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.
"Bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit," katanya lagi.
Meluasnya lahan sawit
Data yang dimilikinya, pembukaan lahan terutama untuk perkebunan sawit terjadi secara terus menerus.
Dari tahun ke tahun luas perkebunan mengalami peningkatan dan mengubah kondisi sekitar.
"Antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun," paparnya.
Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar.
Untuk jumlah perusahaan sawit, pada Pekan Rawa Nasional I bertema Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim 2011, tercatat 19 perusahaan akan menggarap perkebunan sawit di lahan rawa Kalsel dengan luasan lahan mencapai 201.813 hektar.
Mongabay melaporkan, 8 perusahaan sawit di Kabupaten Tapin mengembangkan lahan seluas 83.126 hektar, 4 perusahaan di Kabupaten Barito Kuala mengembangkan sawit di lahan rawa seluas 37.733 hektar, 3 perusahaan sawit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan luasan 44.271 hektar, 2 perusahaan di Kabupaten Banjar dengan lahan sawit seluas 20.684 hektar, kemudian, di Kabupaten Hulu Sungai Utara ada satu perusahaan dengan luas 10.000 hektar dan di Kabupaten Tanah Laut mencapai 5.999 hektar.
Maraknya pertambangan
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia.
Jefri pun menjelaskan mengenai jumlah perluasan lahan pertambangan.
“Sedangkan untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar,” tambah Jefri.
Tidak hanya di Kalsel, wilayah Kalimantan lain juga digerus oleh area pertambangan.
Pada 27 September 2020, Walhi Kalsel bersama Jatam, Jatam Kaltim, dan Trend Asia, membentuk koalisi #BersihkanIndonesia.
Mereka mendesak pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Mereka mengevaluasi mengenai kasus pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Jefri menyayangkan kondisi hutan di Kalimantan yang kini beralih menjadi lahan perkebunan.
“Pembukaan lahan atau perubahan tutupan lahan juga mendorong laju perubahan iklim global. Kalimantan yang dulu bangga dengan hutannya, kini hutan itu telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan tambang batu bara,” katanya lagi.
Resapan air hujan
Perluasan lahan secara masif dan terus menerus, menurut Jefri memperparah bencana terutama di kondisi cuaca ekstrem.
“Akhirnya juga mempengaruhi dan memperparah kondisi ekstrem cuaca, baik itu di musim kemarau dan musim penghujan,” katanya.
Lebih lanjut, Jefri menjelaskan mengenai kondisi permukaan bumi yang kurang dapat meresap air hujan. Akar-akar pohon dari hutan heterogen dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan.
“Karena berkurangnya secara drastis pohon-pohon yang akarnya mengikat dan menyimpan air pada musim penghujan,” imbuhnya.
(Sumber: Kompas)
Tidak hanya cuaca ekstrem, luasnya lahan sawit dan masifnya pertambangan menjadi penyebab parahnya banjir Kalsel https://t.co/4C6TZY7RxT
— Greenpeace Indonesia (@GreenpeaceID) January 15, 2021
"sabar dong udh masuk berita juga"
— 셀런뷰💙 #BOV🏁 (@LovelySellen) January 15, 2021
"Sabar dong nanti juga dibantu"
"Sabar dong balabalabl"
Sabar apa? Udah 3 hari!.
Kalsel Juga Indonesia#PrayforKalSel #KalselJugaIndonesia pic.twitter.com/GicBfpjJxP