Syaikh Ali Jabir, Mata Air Kejernihan Islam
Oleh: Ahmad Jilul Qur'ani Farid
Kepergian Syaikh Ali Jabir meninggalkan rasa kehilangan bagi umat Islam tanpa terkecuali. Lini masa di semua platform media sosial, mulai dari Instagram sampai status WA serentak ramai sampaikan belasungkawa atas kepergiannya. Kemarin, di hari wafatnya saya merasa media sosial sedang mengheningkan cipta, jeda sejenak dari keributan seperti biasanya. Rasanya tak ada kadrun vs cebong hari itu, tak ada wahabi vs aswaja, tak ada khilafah vs NKRI dan seterusnya, semuanya lebur jadi satu berduka atas kepergian Da'i dan ahlul al-Qur'an itu.
Juga tak sedikit yang meyakini dan menyatakan bahwa Syaikh Ali Jabir adalah seorang waliyullah dilihat dari jejak hidupnya. Wallahua'lam bisshowab, namun andaikan benar beliau seorang wali, saya kira karomah yang tidak banyak dimiliki ulama di zaman ini dan beliau miliki adalah bisa diterima oleh semua kalangan tanpa terkecuali. Sehingga ia bisa jadi pemersatu umat Islam yang tercerai-berai, centang perenang.
Ada sebuah adagium yang mengatakan bahwa seseorang tidak bisa membuat senang semua pihak. Mungkin bagi kita itu mustahil, nyatanya bagi Syaikh Ali Jabir hal itu bisa dilakukan. Di kalangan Nahdliyyin bahkan Nahdliyyin yang politisi, beliau diterima. Oleh kutub yang berseberangan seperti eksponen 212, beliau pun diterima. Bahkan beliau terlibat langsung turun ke medan aksi hingga kita tahu terkena gas air mata. Di kalangan jihadi, ikhwani, salafi dan seterusnya semua menerima beliau. Dari Fadli Zon hingga Ganjar Pranowo nampak merasa kehilangan. Bahkan netizen edgy, sjw kiri, anak-anak muda pencari kebenaran, hingga seorang yang nampaknya adalah queer, bisa menerima beliau dan mengekspresikan kehilangannya.
"He’s among of peoples that makes me want to learn about Islam," ungkapnya.
Bahkan kawan-kawan saya yang notabene bukan aktivis Islam, arek cangkrukan Suroboyoan, tiba-tiba mengajak untuk shalat ghaib untuk almarhum.
Apa yang membuat Syaikh Ali Jabir tidak dimusuhi kalangan tertentu dan bisa diterima semua kalangan?
Dari pengamatan saya, pertama beliau bisa berlaku adil tanpa terkecuali tanpa pandang bulu ke siapapun yang berinteraksi dengannya. Beliau pun bisa adil dalam bersikap dan tidak berat sebelah, kepada perempuan yang melepas jilbab ia bersikap sejuk mengajak untuk tidak menghakimi. Kepada pembunuhan 6 laskar FPI, beliau bisa bersikap sangat tegas bahkan marah bahwa tak semestinya darah kaum muslimin dengan mudahnya tertumpah.
Dari sikap yang adil dan perlakuan baik tanpa terkecuali itu, setiap entitas merasa Syekh Ali Jabir berpihak padanya tanpa perlu membenturkan beliau dengan kutub yang berbeda.
Kedua, Syekh Ali Jabir adalah mata air yang jernih. Kalau kita bicara tasawuf, tazkiyatun nafs masih dalam tataran kajian, amalan hati seorang Syekh Ali Jabir nampak gamblang tanpa perlu didadili atau diulas terlalu panjang. Kita menyaksikan betapa jernih beliau yang tidak marah bahkan kepada orang yang menusuknya dan reflek ketika itu juga membela dan meminta masyarakat tidak main hakim sendiri. Kita juga menyaksikan betapa Syaikh Ali Jabir berhati-hati sekali dalam berbicara. Sepengematan saya hampir tidak pernah beliau bicara tendensius menjelekkan kalangan tertentu atau bahkan sekadar bicara dengan nada sinis. Namun pesan-pesannya menghujam sampai ke hati. Tuturnya terasa jernih, akhlak mulia yang muncul dari hati yang bersih itu bisa kita rasakan.
Jika Syaikh Muhammad Abduh pernah menyatakan bahwa Islam tertutupi oleh perilaku umat Islam. Syaikh Ali Jabir adalah salah satu yang menjernihkannya, sehingga dari lisan dan perilakunya Islam begitu universal bisa diterima semua kalangan. Pesan-pesan Islam dari beliau tak terdistorsi, jelas dan jernih sehingga tak ada yang menginterupsi, bahkan sampai ke hati jiwa-jiwa yang menjauh dari agamanya dan merindukan TuhanNya.
Dari mana semua tutur dan akhlak mulia itu muncul? tentu saja itu terjadi karena beliau hidup untuk al-Qur'an. Sebagaimana Nabi yang al-Qur'an termanifestasi dalam akhlak. Pun demikian seorang Syaikh Ali Jabir, seorang ahlul Qur'an dari Kota Sang Nabi memahami al-Qur'an tak hanya pengajaran teori dan ketepatan metode membaca semata, namun pengamalan dalam akhlak yang mulia.
Sekarang ke mana lagi jiwa-jiwa kami yang kotor, lusuh lagi ternoda, yang biasa memilah dan memilih da'i sesuai selera, yang meletakkan kadar keimanan seseorang dari dukungan politiknya, yang tak terbiasa adil kepada mereka yang berbeda, harus mencari mata air yang jernih?
Beliau telah husnul khotimah menepati janji bertemu Rabbnya, sementara kita kebingungan mencari siapa lagi pengganti beliau yang bisa mengikat umat yang tercerai-berai ini.[]