Dialog Soekarno dan Saifuddin Zuhri
Pada suatu pagi aku dipanggil Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Aku diterima di serambi belakang. Menjadi kebiasaan presiden sejak di Yogyakarta, tiap pagi antara Pukul 07.00-09.00, untuk menyelenggarakan koffie uurtje atau sejenak minum kopi bersama beberapa orang tamunya, baik yang datang dengan perjanjian maupun tanpa perjanjian.
Biasanya mereka berjumlah hingga belasan orang dengan berbagai profesi. Ada menteri, duta besar, perwira tinggi, wartawan, pengusaha swasta, seniman, dan lain-lain. Masing-masing disuguhi setangkup roti panggang yang ditaburi gula pasir dan telur dadar, sebagai teman secangkir kopi hitam.
Setelah beberapa tamu memperoleh giliran masing-masing untuk berbicara empat mata dengan presiden, aku dipersilahkan duduk di sebelahnya. Tamu-tamu tinggal 3-4 orang saja, di antara yang kukenali ialah Hasyim Ning, salah seorang pengusaha nasional yang berhasil.
“Saya ingin bicara dengan saudara, biarlah ada Hasyim Ning tidak apa,” Presiden memulai keterangannya mengenai maksudnya memanggilku.
“Saya memberi tahu kepada saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI,”
Seketika aku seperti mendengar suara petir. Beberapa detik aku terpana, seperti kehilangan keseimbangan mental. Alhamdulillah, aku tidak kehilangan akal, aku cepat mengatasi kegoncangan batinku yang agak tiba-tiba tadi.
“Mengapa HMI akan dibubarkan?” aku ingin tahu alasannya.
“Berbagai laporan disampaikan kepada saya bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap reaksioner,” kata presiden. Ia menatap wajahku dalam-dalam seperti hendak menguak isi kepalaku.
“Kadar anti revolusi maupun reaksionernya sampai di mana?” aku bertanya.
“Yaaah, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan, dan lain-lain,” jawab Presiden Soekarno.
“Apakah HMI sudah pernah bapak panggil untuk dinasihati?” aku bertanya.
“Secara umum dan terbuka saya sudah berulang-ulang memperingatkan lewat pidato-pidato saya!” Jawab Presiden Soekarno.
Aku sejenak membuat keseimbangan dalam diriku, antara emosi dan akal pikiran. Karena presiden memanggil aku, itu artinya aku masih dihargai atau (katakanlah) diperhitungkan. Kalau tidak, bukankah presiden dapat saja membubarkan HMI tanpa kehadiranku? Ataukah kehadiranku justru untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa aku menyetujui pembubaran HMI?
“Mohon dipertimbangkan sekali lagi!” aku memberanikan diri untuk membuka diskusi. “HMI itu anak-anak muda. Mereka sudah termakan oleh pidato-pidato bapak di banyak peristiwa: Kalau saya ini anak muda, saya akan memberontak melihat hal-hal yang tidak beres di kanan kiri kita. Lha, HMI itu telah mempraktikkan anjuran bapak, apakah bapak tidak bangga?” Presiden menatap wajahku dengan pandangan lunak, memberi isyarat kepadaku masih terbuka kesempatan berdiskusi terus.
“Mereka itu para mahasiswa berbagai fakultas,” aku kemukakan pertimbanganku, “mereka adalah calon insinyur, dokter, ekonom, sarjana hukum, dan lain-lain. Mereka itu merupakan kader-kader bangsa. Sudah jamak anak-anak muda berpikiran dinamis, karena itu, seperti yang sering bapak pidatokan, mereka bisa membentuk gelombang arus listrik. Bapak lebih tahu daripada saya, arus listrik harus ditransformir, dan bila gerakan itu arus air yang deras mengalir harus dikanalisir, disalurkan, supaya menjadi kekuatan yang bermanfaat. Kalau HMI dibubarkan mereka menjadi frustasi dan kita rugi semua!”
“Mereka kan anak-anak Masyumi. Tentu seperti bapaknya, tetap saja reaksioner!” Bung Karno masih belum menyerah tetapi semangatnya untuk membubarkan HMI tidak menggebu-gebu lagi.
“Pak, ketika masa jaya-jayanya Masyumi, mereka masih anak-anak SMA dan SMP. Mereka tidak tahu persis apa itu Masyumi. Kita jangan mengikuti falsafah yang mengatakan: “Karena bapaknya berbuat salah, anak-anaknya pun berdosa semuanya…!” aku merasa di atas angin. Presiden Soekarno untuk beberapa saat memutuskan pembicaraanya denganku karena memanggil ajudannya untuk suatu keperluan. Buatku mengandung isyarat bahwa ia mulai kehabisan argumentasi. Kalau tidak, dan kalau memang berada di atas angin, buat apa memanggil ajudan?
“Tetapi bagaimanapun HMI dan SBII bakal saya bubarkan. Kalau HMI bubar, NU kan untung, PMII makin besar!” kata Presiden.
“Soalnya bukan masalah untung atau bukan untung. Sulit buat saya selagi masih Menteri Agama ada organisasi Islam yang dibubarkan tanpa alasan kuat!” aku memberanikan diri untuk qulil haqqa walau kaana murran!
“Wah… tidak sangka kalau saudara membela HMI, ya?” Presiden berbicara sambil pandangannya menerawang.
“Bukan membela HMI, pak! Saya tidak ingin presiden berbuat berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu presiden,” kataku makin mantap.
“Bukan berlebihan, tetapi saya berbuat menurut gewetan saya, perasaan hati saya!” kata presiden.
Aku merenung sejenak, lalu aku menentukan sikap terakhir. “Kalau bapak hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan bapak. Maka tugasku sebagai pembantu bapak hanya sampai di sini.” aku telah bulat kata dan tawakal.
“Oooooh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara membantu saya.” Presiden Soekarno berkata sambil merekahkan senyuman di bibirnya. Tangannya diulurkan kepadaku. Refleks tangannya kujabat juga.
“Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan, HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Syarief Thayeb harus membimbing HMI,” kata presiden menyudahi pertemuannya denganku.”
Sumber: buku Berangkat dari Pesantren, karya Saifuddin Zuhri. halaman 671-674.
(rilis.id)