Kekeliruan-kekeliruan Maklumat Kepala Polri
Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Front Pembela Islam (FPI) merupakan wujud penggunaan kekuasaan yang berlebihan. Pemberitahuan yang dikeluarkan setelah terbitnya surat keputusan bersama soal pelarangan aktivitas FPI itu membahayakan sistem hukum dan demokrasi.
Kepala Polri Jenderal Idham Azis mengeluarkan maklumat pada 1 Januari 2021. Isinya, antara lain, meminta masyarakat tidak mendukung kegiatan FPI serta melaporkan kegiatan, juga penggunaan simbol dan atribut organisasi itu. Masyarakat juga dilarang mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten tentang FPI, baik melalui situs maupun media sosial.
Kita tahu, maklumat sejatinya bukan produk hukum dan, sesuai dengan definisinya, hanyalah pemberitahuan kepada khalayak. Maklumat juga tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kenyataannya, Maklumat Kapolri justru membuat aturan baru yang mengikat masyarakat secara luas.
Masalah terbesar ada pada poin pelarangan untuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten FPI. Ketentuan itu sangat bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Poin-poin lainnya dalam Maklumat tak kurang bermasalah. Maklumat mendasarkan pada surat keputusan bersama yang menyatakan FPI secara de jure telah bubar karena tak lagi memiliki surat keterangan terdaftar. Namun kepolisian menempatkan kelompok itu layaknya organisasi terlarang--seperti halnya status Partai Komunis Indonesia, yang pelarangannya diatur dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Maklumat agar publik melaporkan kegiatan FPI pun bisa memicu konflik horizontal. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Pada masa lalu, kelompok masyarakat yang dianggap terafiliasi dengan PKI banyak mendapat perlakuan deskriminatif. Mereka dikucilkan dan bahkan kehilangan hak-hak politik. Jika itu terjadi, alih-alih menghilangkan, Maklumat Kapolri justru bisa menumbuhkan radikalisme di masyarakat.
Kekeliruan lain adalah pelibatan Satuan Polisi Pamong Praja, yang bukan merupakan organ kepolisian. Huruf c Maklumat menyebutkan akan “mengedepankan Satpol PP dengan didukung sepenuhnya oleh TNI-Polri” dalam menertibkan lokasi-lokasi yang terpasang atribut FPI. Padahal satuan polisi itu hanya berwenang menertibkan pelanggaran peraturan daerah.
Pelibatan kepolisian dan TNI dalam menertibkan spanduk pun tak memiliki dasar hukum. Dengan begitu, diskresi yang dicantumkan dalam Maklumat Kapolri akan membuka peluang penyelewengan yang sedemikian besar, terutama oleh anggota kepolisian di lapangan.
Pemimpin dan anggota FPI memang sering kali bertindak intoleran dan tak jarang mempersekusi kelompok lain yang berbeda. Cara terbaik menghadapinya hanyalah dengan menegakkan hukum tanpa dicampuri urusan lain semacam politik. Maklumat Jenderal Idham Azis tak mencerminkan pendekatan hukum yang seperti itu. Maklumat itu justru menarik mundur tertib hukum yang dengan susah payah dibangun sejak reformasi 1998.
(Sumber: Editorial Koran TEMPO, Senin 4 Januari 2020)