Gedung DPR Seperti Kuburan Baru Politisi
Oleh: Furqan Jurdi (Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM & Ketua Pemuda Madani)
Akhir-akhir ini kita sudah terbiasa mendengar kematian, pembubaran organisasi, kekerasan, kriminalisasi, perpecahan dan pembelahan dalam masyarakat. Ironisnya, ketegangan dan kengerian itu sunyi dibicarakan di gedung Lembaga legislatif. Gedung yang menjadi penyambung lidah rakyat itu seperti kuburan baru bagi politisi.
Inilah yang disebut sebagai erosi demokrasi. Dimana setelah demokrasi dibangun di atas pengorbanan, darah, air mata, senjata dan kekerasan, kini berakhir pula dengan hal yang sama. Saat ini merupakan periodesasi “matinya demokrasi”. Demokrasi yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan dan hak asasi manusia, sepertinya hanya menjadi diskursus saat pemilu. Selesai itu demokrasi hanya milik kekuasaan.
Ditengah rintihan kematian itu, krisis yang melanda bangsa. Kelaparan yang mengancam setiap orang. Namun gedung parlemen itu masih tetap sunyi seperti kuburan. Ketika orang mengadukan kesewenang-wenangan, hukum justru berbalik menyerang mereka. Seakan-akan hukum hanya tunduk pada pemilik senjata dan kekuasaan. Sepanjang periode tahun lalu, ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar.
Kualitas Wakil Rakyat
Politisi parlemen seyogyanya dipilih oleh rakyat untuk “menggonggongi” kekuasaan. Mereka dipilih sebagai juru bicara rakyat. Mereka harus mengkritis kebijakan-kebijakan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Posisi wakil rakyat itu menjadi sangat penting dan strategis dalam sistem demokrasi presidensialisme seperti Indonesia. Sebab politisi parlemen memiliki hak imunitas yang bisa memproteksi segala niat buruk kekuasaan terhadap tiap-tiap anggota Parlemen.
Tetapi akhir-akhir ini, politisi bersenggama dengan kekuasaan melalui proyek-proyek yang dilakukan lewat Parlemen. Beralihnya profesi anggota dewan menjadi “pemain proyek” membuat garapan Lembaga Anti Korupsi di gedung parlemen semakin banyak.
Durhakanya lagi, Wakil Rakyat telah memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat setelah mendapatkan legitimasi politik dari rakyat. Justru politisi berdiri menggonggongi rakyat. Alasannya karena merasa diri sebagai representasi suara rakyat. Mereka telah ramai-ramai memproteksi dirinya dengan hak imunitas untuk menangkal kritik konstituen terhadap dirinya. Yang seharusnya imunitas itu untuk melindungi diri dari kekuasaan dalam aktivitasnya membela rakyat.
Politisi yang dulunya mengemis kepada rakyat itu, kini tiba-tiba berubah menjadi ‘tuan’ yang tak bisa dipersalahkan atau dipersoalkan. Bahkan mereka lebih otoriter dalam berpikir ketimbang kekuasaan. Inilah arogansi politik yang dihasilkan dari sistem demokrasi.
Kenapa bisa muncul politisi arogan seperti itu? Sebab, persekongkolan antara pemilik modal dan politisi tidak lagi menghasilkan politisi yang benar-benar berkualitas. Melainkan hanya melahirkan politisi yang tidak memiliki kualitas apapun. Inilah kemerosotan demokrasi yang sesungguhnya.
Arogansi ini adalah mental otoriter. Dalam mental otoriter seperti itu, korupsi menjadi kebiasaan buruk keseharian elit politik, khususnya anggota dewan. Seperti orang-orang penting yang menjabat antara tahun 2014-2019 telah terjerat kasus korupsi sejumlah 23 orang. Sebagian adalah ketua Umum Partai seperti Setya Novanto dan Romahurmuzy. Keduanya merupakan ‘orang penting’ yang menjadi pesakitan karena korupsi.
Karena kelakuan mereka, institusi DPR yang tadinya memiliki posisi yang kuat, akhirnya menjadi lemah. Sebab banyak politisi yang menjadi pengemis di kekuasaan setelah berhasil mendapatkan legitimasi rakyat. Mental Parlemen seperti ini yang akhirnya memperkuat posisi Presiden, dan dengan demikian Lahirlah Tirani Kekuasaan.
Lemahnya Check And Balances
Setelah institusi yang melakukan pengawasan dan penyeimbang sudah berubah menjadi “jongos kekuasaan”, maka eksekutif bertindak di luar kendali. Hukum dijadikan alat. Sementara bedil dan pentungan mengamankan tirani. Apalagi dalam sistem Presidensialisme, Eksekutif memiliki kekuasaan yang kuat dan besar. Dengan kekuasaan yang besar dan menggiurkan bagi siapa saja yang menjadi Kepala Eksekutif untuk melakukan tindakan yang melampaui hukum.
Bukankah Polisi, Tentara, Jaksa dan lembaga-lembaga kementrian di bawah komando presiden? Kalau anggota Parlemen hanya sebatas “orang-orang kebetulan”, maka tentu mereka tidak akan mengerti bahaya lahirnya pemerintahan yang otoriter.
Lembaga Kehakiman yang diharapkan Independen pasti secara psikologis tidak akan berani berada di luar cengkraman rezim otoriter. Sebab hakim-hakim di Mahkamah dipilih oleh Eksekutif dan Parlemen. Jadi secara politik hubungan mereka sangat dekat. Hanya saja Konstitusi dan Perundang-undangan menyebut kekuasaan Kehakiman mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tetapi dalam transaksi kepentingan itu tidak berlaku.
Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Rakyat sendiri? Rakyat bisa saja menjadi oposan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Namun ketika demokrasi sudah mulai meredup, kritik pun pasti akan dilarang oleh penguasa.
Berulang-ulang dosen, mahasiswa, aktivis maupun masyarakat menyebutkan “kebebasan untuk berkumpul, berserikat, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis di jamin konstitusi”. Capek mulut dan pecah telinga mendengarkannya. Itu hanya diskursus akademis. Berbeda dalam konteks politik kekuasaan, yang justru menjadi pembatas bagi siapa saja yang berbeda dengan kekuasaan.
Karena itu dalam keadaan yang demikian, kita hanya dapat meraba-raba. Kematian apalagi yang akan terjadi selanjutnya? Kebiadaban apalagi yang akan dipertontonkan dihari-hari yang akan datang?
Bagaimana Dengan Indonesia?
Apa yang saya jelaskan diatas agak mirip dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Sebuah negara Demokrasi terbesar yang sedang merosot menuju negara otoriter. Sebuah pemerintahan yang berdiri di atas kuburan 989 lebih petugas KPPS. Pemilu itu disebut oleh beberapa pihak sebagai pemilu brutal yang menewaskan banyak anak bangsa.
Apabila membuat produk hukum, pasti bermasalah. Maka, dibalik produk hukum yang bermasalah itu, seperti UU KPK telah menewaskan 2 orang mahasiswa akibat melakukan protes terhadap perubahan UU tersebut. Kekerasan negara terhadap demonstran sepanjang tahun 2020 merupakan potret negara yang sedang memacu dirinya menjadi negara otoriter. Kritik dibungkam, protes ditindak dan semuanya itu berbau kekerasan negara terhadap warga sipil.
Lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, menimbulkan reaksi besar dari semua kalangan. Namun pada akhirnya, meski Muhammadiyah dan organisasi masyarakat lainnya Menolak UU itu, tetapi tokh tetap saja disahkan dengan seribu satu macam dagelan dan kesalahan. Begitulah kalau DPR menjadi kuburan masal orang-orang hebat.
Belum lagi masalah covid-19 yang telah merenggut nyawa 22 ribu nyawa masyarakat Indonesia. Meski ancaman Covid sangat dahsyat, namun tidak pernah mampu menghalau pilkada serentak 2020. Semua untuk memuluskan Jalan ya kekuasaan oligark yang telah bertengger menjadi mafia politik dan ekonomi.
Sunyi suara Anggota DPR atas masalah-masalah yang terjadi. Tidak ada suara nyaring wakil rakyat terhadap kematian 6 orang yang diduga dibunuh secara sadis. Begitu tidak berharganya nyawa manusia dalam sebuah negara otoriter.
Sunyi pula suara Anggota DPR ketika utang negara sudah mencapai Rp. 6.000 triliun. Sunyi pula anggota dewan terhadap penggunaan dana Covid-19 yang hampir mencapai Rp. 900 triliun. Bahkan sampai dikorupsi oleh Menteri Sosial. Mungkinkah ini karena anggota DPR juga kebagian? Kita tunggu saja.
Kita sudah terbiasa dengan budaya membubarkan organisasi. Sudah dua organisasi yang dibubarkan hanya dengan pernyataan Menteri. Menteri sudah bisa melampaui hukum dan perundang-undangan. Sungguh berkuasa para menteri. Sehingga hanya dengan pernyataan bersama, nasib perkumpulan anak bangsa bisa dieksekusi dan dilarang.
Lengkap sudah masalah yang kita hadapi. Tetapi inilah demokrasi. Setelah terpilih, demokrasi hanya milik kekuasaan dan rakyat tinggal menunggu nasib baik dan nasib buruk. Seperti kata Emha Ainun Nadjib, “di negara Komunis tidak boleh bicara,te tapi dikasih makan”. Sementara di negara kapitalis “bicara bebas, tetapi cari makan sendiri. Kalau di Indonesia, “bicara tidak boleh, cari makan masing~masing”. Lengkap sudahlah menjadi warga negara Indonesia.
Entah rezimnya siapa, Indonesia selalu menghadapi masalah yang serupa. Semoga kita semua masih kuat untuk menghadapi hantaman tahun 2021 ke depan. Wallahualam Bis shawab.
[FNN]