[PORTAL-ISLAM.ID] TNI Angkatan Laut mengaku tak mendapati identitas pemilik drone bawah laut temuan nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, sekalipun wujudnya mirip unmanned underwater vehicle Sea Wing milik Cina. Lebih dari itu TNI memastikan benda yang disebutnya sebatas sea glider itu hanya untuk riset bawah laut, bukan untuk memata-matai wilayah Indonesia.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono memaparkan itu dalam jumpa pers di Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL di Jakarta Utara, Senin 4 Januari 2020. TNI AL disebutkannya telah melakukan penelitian atas benda berantena di bagian ekor tersebut selama seminggu ke belakang.
Menurut Yudo, tidak menemukan logo ataupun ciri-ciri perusahaan pembuat sea glider itu. Benda tersebut ikut ditunjukkan dalam jumpa pers tersebut dan Yudo tak menyinggung perihal Sea Wing asal Cina.
"Tidak ditemukan ciri-ciri perusahaan negara pembuat. Tidak ada tulisan apa pun di sini, dari awalnya demikian. Kami tidak merekayasa, masih persis seperti yang ditemukan nelayan," katanya menegaskan.
Sea glider itu, kata dia, kondisinya masih sama seperti saat pertama kali ditemukan oleh para nelayan pada tanggal 26 Desember 2020. Sekitar enam hari kemudian penemuan dilaporkan ke kepolisian setempat sebelum diteruskan ke TNI.
Seperti yang sudah dicantumkan oleh akun @Jatosint di media sosial, benda mirip torpedo itu juga ditunjukkan berukuran panjang 2,25 meter. Dalam keterangannya, TNI AL menyebut benda terbuat dari aluminium dengan dua sayap, propeller, serta antena belakang. Pada bagian badan terdapat instrumen yang mirip kamera.
"Badannya terbuat dari aluminium dengan dua sayap 50 cm, kemudian propeller 18 cm di bawah, panjang antena yang belakang 93 cm," ujar Yudo menambahkan.
Yudo menjelaskan, sea glider jamak digunakan untuk keperluan survei kelautan untuk kepentingan pengeboran maupun pemetaan zona ikan. Namun dia menegaskan, alat tidak seperti yang ramai dipekulasikan, bisa untuk mendeteksi kapal selam maupun kapal di atas air.
"Tidak memiliki fungsi mendeteksi kapal lain layaknya sonar pada kapal perang," katanya sambil menambahkan, "Ini hanya untuk data-data batrimeti atau kedalaman air laut di bawah permukaan."
Sebelumnya, berita drone bawah laut, yang ditemukan nelayan di Selayar, Sulawesi Selatan, membuat heboh. Terlebih, ini adalah berita sejenis yang ketiga yang pernah ada setelah sebelumnya temuan benda serupa di Kepulauan Riau pada Maret 2019 dan di perairan Sumenep pada Januari 2020.
Sebuah akun open source intelijen yang terkait keamanan dan pertahanan nasional, @Jatosint, yang memaparkan kemiripan temuan itu dengan unmanned underwater vehicle asal Cina. "Sangat mirip dengan UUV Cina, Sea Wing, yang, jika benar, memunculkan banyak pertanyaan terutama bagaimana dia bisa sampai begitu dalam di wilayah kita," cuitnya pada 29 Desember 2020.
Belum ada pernyataan dari Cina perihal temuan ini, dan dugaan wahana miliknya tersebut. Tapi, sejumlah kalangan menyebutkan kalau data dari UUV amat berharga, termasuk untuk kebutuhan militer angkatan laut.
Media resmi Cina, Xinhua, pernah mengungkap kemampuan lain dari Haiyi, nama lokal dari Sea Wing. Selain lebih efisien, lebih tahan lama, dan lebih sedikit menggunakan energi daripada yang sudah ada sebelumnya, wahana yang dipublikasikan bercat kuning ini bisa mengirim data langsung dari bawah air--sebuah fitur yang bahkan belum dikuasai di Amerika.
Yu Jiancheng, ketua tim ilmuwan dari ekspedisi Sea Wing mengatakan kalau data yang dikirim ke laboratorium di darat bersifat real-time. Kuncinya, ada di bagian antena di ekor. Jika itu benar, Yin Jingwei, ahli teknik akustik bawah air di Universitas Teknik Harbin berkomentar, "jelas sebuah terobosan."
Beberapa tahun lalu media militer Cina sudah langsung berspekulasi kalau Haiyi atau sayap di laut itu bisa dimanfaatkan untuk militer, terutama untuk deteksi kapal selam Amerika di Laut Cina Selatan--wilayah yang diklaim sepihak Cina. Hal itu sekalipun drone tak mengusung persenjataan.
"Sejak tidak ada mesin propulsi, akustik dari wahana ini sangat rendah. Karakteristik ini yang membuat platform ini bisa memberi keuntungan besar untuk domain militer," bunyi ulasan sebuah majalah pertahanan, Ordnance Industry Science and Technology, pada 2016.
(Sumber: Tempo)