Bukan Sekadar Pelanggaran HAM
Oleh: Dr. Heru Susetyo | Staf Pengajar dan Advokat HAM / Alumnus Program Master HAM di Northwestern University Chicago USA dan Doktor HAM dari Mahidol University
Catatan untuk Unlawful Killing terhadap enam Laskar FPI
Akhirnya Komnas HAM melansir hasil penyelidikannya terkait insiden antara polisi dan laskar FPI pada 6-7 Desember 2020 yang menewaskan 6 (enam) anggota laskar FPI di sekitar KM 50 jalan tol Jakarta – Cikampek.
Hasilnya, Komnas HAM menyebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dan unlawful killing (pembunuhan yang terjadi di luar hukum, red) terhadap tewasnya 4 (empat) anggota laskar FPI di tangan polisi. Sedangkan untuk tewasnya 2 (dua) anggota laskar tidak disebutkan secara khusus sebagai unlawful killing oleh Komnas HAM.
Sebenarnya, tanpa investigasi Komnas HAM pun publik dapat menduga bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Karena, dalam insiden tersebut, keenam korban yang ditembak mati bukanlah berstatus sebagai Tersangka, Terdakwa, Terpidana, ataupun sebagai target operasi dari kepolisian.
Mereka sedang menjalankan tugas pengawalan terhadap Habib Rizieq Shihab. Bisa jadi gaya pengawalan yang mereka lakukan adalah berlebihan. Namun, tindakan polisi untuk menembak mati juga adalah suatu tindakan yang melanggar HAM dan melanggar hukum.
Dapat disebut unlawful killing (pembunuhan yang tidak legal) dan extra judicial killing (pembunuhan yang di luar mandat pengadilan). Apalagi, keterangan yang diberikan kepolisian adalah keterangan sepihak. Keenam korban tak dapat dimintai konfirmasi karena mereka sudah tewas. Maka, pernyataan polisi bahwa tindakan tersebut adalah “tegas dan terukur” harus dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
Istilah unlawful killing bermakna pembunuhan terhadap manusia dengan cara yang melawan hukum (the killing of a human being in a manner contrary to the law, as murder, manslaughter, etc. – lexico.com).
Sementara, istilah extrajudicial killing (atau istilah lain extrajudicial execution/ extralegal killing) adalah pembunuhan yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang bukan merupakan bentuk sanksi hukum, bukan bagian dari proses peradilan yang sah (the killing of a person by governmental authorities without the sanction of any judicial proceeding or legal process – VERA Files).
Sedangkan, pelanggaran HAM menurut definisi dari UU HAM No. 39 tahun 1999 adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Berdasarkan pengertian di atas, paling tidak hak yang telah dilanggar oleh pihak kepolisian adalah hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan yang kejam dan penghilangan nyawa.
Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Sementara itu Pasal 33 yang sama menyebutkan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Senada dengan UU No. 39 tahun 1999, apabila kita merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh UU No. 12 tahun 2005, paling tidak ada beberapa hak yang dilanggar dalam insiden tersebut, antara lain: hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, dan hak atas keamanan pribadi.
Pasal 6 dari ICCPR menyebutkan bahwa: Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life. Kemudian Pasal 7 ICCPR menyebutkan bahwa: No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation.
Serta Pasal 9 dari ICCPR menyebutkan bahwa Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
Maka, senada dengan temuan Komnas HAM, sudah pada tempatnya apabila unlawful killing yang dilakukan oknum kepolisian ini bisa dilanjutkan dengan proses hukum yang adil, imparsial, dan bebas dari intervensi kekuasan, terhadap para tersangka pelaku-nya. Keadilan harus ditegakkan. Cita dan citra negara hukum yang menempatkan rule of law (bukan rule of thumb) sebagai panglima harus dibuktikan. Para korban dan keluarganya juga mesti mendapatkan hak-haknya sebagai korban sesuai dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku di Indonesia.
Termasuk dalam kerangka ini adalah menelusuri sekiranya yang terjadi dalam insiden tersebut adalah tidak sekedar “Pelanggaran HAM” namun juga “Pelanggaran HAM Berat” seperti yang dimaksud oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pelanggaran HAM Berat yang berpotensi terjadi pada kasus tersebut adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity).
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; …. dan seterusnya.
Apabila penyelidik Pelanggaran HAM Berat (dalam hal ini adalah Komnas HAM) menjumpai fakta bahwa yang terjadi dalam kasus tersebut adalah Pelanggaran HAM Berat, tentunya rezim Pengadilan HAM pada UU No. 26 tahun 2000-lah yang berlaku.
Semoga negara dan aparat penegak hukum dapat menyelesaikan kasus ini dengan adil dan imparsial. Bebas dari intervensi kekuasaan. Serta menempatkan rule of law sebagai panglima. Sesiapa yang bersalah berdasarkan fakta di persidangan haruslah mendapatkan hukuman yang setimpal. Tak cukup hanya dengan mengatakan bagian dari “tindakan yang tegas dan terukur.” Lalu, hak-hak korban dan keluarganya harus dilindungi dan diakomodasi. Mereka memang telah tewas. Namun hak-hak mereka dan keluarganya tidak lantas turut hilang.
Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil, Berlaku adil-lah karena adil itu lebih dekat kepada takwa… (Q.S Al Maidah : 8).
*Sumber: Kumparan