[Catatan Naniek S Deyang]
Masih ingat tulisan saya soal aset-aset tanah yg kini dalam genggaman konglomerat dengan alasan BOT build on transfer (setelah 20-30 tahun akan dikembalikan, tapi nyatanya juga belum ada yg mengembalikan) dll, yg nyatanya terus diperpanjang, padahal letaknya strategis seperti di segitiga emas Jakarta atau di sekitar Senayan?
Lalu ada juga lahan-lahan punya PTPN, Perhutani, Yayasan TNI, Departemen, dll yg juga dipakai konglomerat dengan alasan yg sama atau alasan tukar guling.
Saya mau tanya itu kawasan industri dari mulai Cikarang sampai Purwakarta yg dimiliki para konglomerat tanah siapa? Lalu perumahan Sentul itu juga tadinya punya siapa? Kemudian Patal Senayan yg sekarang jadi kawasan bisnis itu juga dulu tanah siapa? SCBD juga tanah siapa dulunya? Bagaimana dengan mudahnya mereka menguasai tanah-tanah itu dengan alasan tukar guling? Siapa yg mengaudit tanah2 itu dan dipastikan tukarnya dalam posisi imbang? Kalau dijual apakah duitnya benar masuk negara, BUMN atau Yayasan?
Siapa penguasa tanah-tanah negara baik dalam bentuk HGU (hak guna usaha) dan HGB (hak guna bangunan), dan nyatanya kepemilikan itu terus berulang-ulang diperpanjang, hingga seperti sudah menjadi milik sang konglomerat, bahkan satu konglomerat bisa menguasai hingga 7 juta hektar???
Lalu ada seorang ulama bikin Ponpes dan Masjid, dimana Ponpesnya mengratiskan yg mondok dari mulai makan sampai biaya pendidikan, dan Masjidnya menjadi gudang ilmu karena di dinding masjid itu semua dipenuhi buku2, bukan hanya buku agama tapi buku2 pengetahuan umum.
Di Pondok itu juga ada pendidikan konservasi lahan, bercocok tanah, berkebun dan beternak utk para santrinya.
Dan satu hal, di pondok itu BENDERA MERAH PUTIH berkibar sepanjang hari dan sepanjang tahun.
Lalu sekarang lokasi tanah yg hanya berapa hektar utk Ponpes dan Masjid itu akan diminta PTPN dengan alasan milik PTPN. Padahal sebelum dipakai sang Imam, tanah itu sudah 30 tahun digarap para petani dan Sang Imam tidak gratis utk peroleh tanah tersebut, tapi membeli dari petani penggarap/petani.
Saya tidak dalam rangka membela Ponpes atau sang Imam Besar, saya hanya bertanya dimana letak keadilan itu bila konglomerat boleh menggunakan tanah negara seenaknya, bahkan gak dibalik-balikin, tapi ini ada manusia kebetulan namanya Imam Besar itu dan digunakan utk pendidikan para santri kok sekarang diminta paksa tanahnya? Apalagi tanah itu diperoleh tidak gratis!
Sekali lagi sebagai rakyat saya hanya bertanya, karena melihat yg demikian tdk adil dan manusiawi.
Oh ya di pondok itu anak-anak Pondok nggak cuman belajar agama, tapi belajar pendidikan umum seperti Matematika, Fisika dll dan itu porsinya 60 persen. Demi Allah saya bersaksi karena saya termasuk yg berkali-kali melihat pendidikan di sana, di pondok itu tidak diajarin anak-anak menjadi teroris, tapi menjadi insan yg mencintai agama, bangsa dan negara Indonesia.😭
Guru2 yg rumahnya jauh dibuatkan rumah2 sederhana di pondokan tersebut. Rumah sang Imam sendiri hanya sebuah bangunan ecek-ecek seluas 8x10 meter. Jauh dari gambaran keren apalagi mewah. Namun santri-santri yg makan gratis itu setiap hari tdk pernah hanya makan berlauk tempe, dan sayur saja, tetapi berlauk penuh gizi dan dikontrol langsung sang Imam, saat dulu beliau belum dibuat pergi ke Mekkah.
Uang hasil ceramah bila dikasih pengundang semua diberikan Sang Imam utk memenuhi gizi atau memberi makan para santrinya. Apakah manusia seperti ini memang layak terus dimusuhi?
(Naniek S Deyang) / Fb
Masih ingat tulisan saya soal aset-aset tanah yg kini dalam genggaman konglomerat dengan alasan BOT build on transfer (...
Dikirim oleh Naniek S Deyang pada Kamis, 24 Desember 2020