Jangan Berhenti di Menteri Juliari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh menghentikan penyidikan kasus korupsi proyek bantuan sosial (bansos) hanya pada mantan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. Kesaksian para pelaku dan bukti-bukti lain menunjukkan bahwa Juliari tidak menikmati sendiri fulus ratusan miliar rupiah hasil korupsinya. Ada indikasi kuat sejumlah fungsionaris PDIP ikut menyalurkan duit haram itu untuk pemenangan beberapa calon dalam pemilihan kepala daerah yang baru usai.
Karena itu, penahanan Juliari pada 6 Desember lalu harus dijadikan pintu masuk untuk mengungkap lebar jejaring pelaku korupsi dana bansos. KPK tidak boleh gentar, meski berhadapan dengan partai penguasa. Korupsi dana bantuan untuk masyarakat yang terempas krisis ekonomi akibat pandemi jelas merupakan kejahatan level tertinggi. Pelakunya tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga mengancam hidup banyak orang.
Penyidikan sementara menemukan bukti bahwa Juliari telah menyelewengkan posisinya sebagai Menteri Sosial untuk memungut sedikitnya Rp 10 ribu dari setiap kemasan bantuan sosial korban pandemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebagian dana itu lalu digunakan buat membiayai berbagai keperluannya, termasuk menyewa jet pribadi untuk melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah.
Anggaran pemerintah untuk proyek bansos adalah Rp 300 ribu per kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibagikan dalam 12 gelombang. Artinya, total nilai korupsi Menteri Sosial mencapai setidaknya Rp 216 miliar. Tapi, ada dugaan, korupsi Juliari sebenarnya lebih dahsyat.
Penelusuran majalah Tempo menemukan bahwa nilai tiap kemasan bantuan sosial bisa jadi jauh lebih rendah dari Rp 300 ribu. Banyak penerima bantuan mengeluhkan buruknya kualitas beras, sarden, atau mi instan yang mereka terima. Biaya pembuatan tas bantuan yang dikerjakan PT Sritex, Solo, Jawa Tengah, pun terlalu mahal. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sempat menelusuri kejanggalan-kejanggalan ini.
Pengadaan bansos berbentuk barang pada masa krisis memang rentan dikorupsi. Banyak aktivis antikorupsi sudah mengingatkan pemerintah sejak awal. Kondisi pandemi yang serba darurat dimanfaatkan Juliari dan kelompoknya untuk berbagi-bagi jatah. Bukan hanya di hilir, dalam proses pengadaan bansos pun sejumlah perusahaan kepanjangan tangan politikus turut bermain. Ada kesaksian yang menyebutkan nama sejumlah elite PDIP yang menitipkan perusahaan tertentu agar mendapat jatah proyek. KPK harus menelusuri semua petunjuk itu.
Bagi banyak orang, kejahatan semacam ini mungkin tidak terbayangkan. Menteri Sosial yang semestinya menjadi penopang orang-orang papa justru mengkhianati warga yang seharusnya dia lindungi. Apalagi Juliari berasal dari PDIP, partai politik yang selalu mengklaim sebagai “partai wong cilik”.
Bagaimanapun aksi lancung Juliari tak bisa dilepaskan dari kebijakan Presiden Joko Widodo. Ketika menyetujui revisi Undang-Undang KPK setahun lalu, yang jelas-jelas memereteli sejumlah kewenangan lembaga itu, Jokowi mengirim sinyal terang benderang ke pelosok negeri. Dia menegaskan bahwa penindakan keras terhadap korupsi adalah pengganggu pembangunan.
Apalagi, setelah pandemi, Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang berisi klausul perlindungan bagi pejabat. Aturan yang kemudian disetujui DPR itu menegaskan bahwa pejabat tidak bisa dituntut hukum, baik secara pidana maupun perdata, saat bekerja mengatasi wabah Covid-19. Semua kebijakan Jokowi itu, sedikit-banyak, mendorong Juliari dan bisa jadi pejabat lain untuk ramai-ramai menggarong anggaran negara.
Karena itulah berbagai tanda ketidakberesan penyaluran bantuan sosial seolah-olah diabaikan begitu saja. Sistem pencegahan korupsi di pemerintahan tak berjalan. Publik patut mengapresiasi kerja keras penyidik komisi antikorupsi yang telaten mengumpulkan bukti demi bukti yang berujung pada penahanan Juliari.
Penyidikan tentu belum usai. Sudah semestinya KPK menelusuri aliran dana hasil korupsi dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kecurigaan bahwa hasil pungutan bansos ini masuk ke kantong elite PDIP, tempat Juliari Batubara menjadi wakil bendahara umum, harus ditelusuri. Apalagi undang-undang antikorupsi memungkinkan penggunaan delik kejahatan korporasi. Sanksi bagi pelaku kejahatan level tertinggi ini harus berlipat-lipat, termasuk bagi kelompok yang ikut menikmati hasilnya.[]
*Sumber: Majalah TEMPO (21-27 Desember 2020)