Banyak yang berharap pada Komnas HAM. Menandakan hanya mereka satu-satunya yang dianggap bisa memberikan fakta dilapangan.
Sayangnya, hampir sebagian besar hasil invstigasi Komnas HAM tidak pernah ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk penyelidikan. Apalagi jika hasilnya, mengidentifikasikan ada pejabat atau aparat pemerintah yang melakukan pelanggaran.
Komnas HAM seperti lembaga yang diakui, namun tidak wajib untuk didengarkan rekomendasinya oleh pemerintah. Membuat dan membiayai Komnas HAM, ibarat sebuah syarat pengakuan sebuah negara. Bahwa ada lembaga yang memperhatikan HAM disana.
Banyak kasus Komnas HAM seperti mati suri setelah direkomendasikan pada pemerintah. Tertumpuk dimeja, tanpa wajib untuk dipatuhi atau ditindak lanjuti.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, hilangnya nyawa enam laskar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang didor eksekutor merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.
“Tindakan ini bisa diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM, bahkan bisa diadili di ICC (International Criminal Court) di Den Haag,” katanya, seperti dilansir Tagar pada Rabu, 16 Desember 2020.
Militer saja tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata.
Fickar menilai, eksekutor diduga anggota polisi yang ditugaskan mengamankan enam anggota FPI itu seharusnya tidak mempergunakan senjata api secara sembarangan, apalagi untuk menembak mati masyarakat sipil yang disebut-sebut tidak bersenjata.
“Dalam konteks hukum pidana internasional dalam situasi perang yang berdasarkan hukum perang, militer saja tidak diperbolehkan menembak tahanan perang yang tidak bersenjata, apalagi menembaki sipil, tindakan ini dikualifisir sebagai kejahatan perang,” ujarnya.
“Jadi, orang-orang yang bersenjata sebenarnya tidak dibenarkan menggunakan senjatanya dalam keadaan aman dan normal,” ucapnya menambahkan.
Dalam kasus itu, Fickar menyayangkan lahir peristiwa penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu. Menurutnya, terdapat kesalahan prosedur dilakukan kepolisian saat bertugas 'menguntit' rombongan Habib Rizieq Shihab.
“Polisi itu konteksnya keamanan. Jadi penggunaan senjatanya itu tidak bisa langsung menembak mati, tapi harus bertahap, yaitu mengamankan dengan melumpuhkan, menembak peringatan dengan sasaran ke atas, kemudian menembak kaki untuk melemahkan,” tutur Fickar menjelaskan.
Oleh sebab itu, Fickar menyarankan pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran agar kasus tewasnya 6 anggota FPI bisa terang benderang.
“Soal penembakan 6 orang itu mustinya Presiden Jokowi juga peka, karena yang ditembak itu warga sipil. Jadi seharusnya sebagi negarawan, presiden berinisiatif juga membentuk tim pencari fakta untuk mencari kebenaran,” ujar dia, dikutip dari Tagar.[]