KALAU INI ASLI...
Hasil 'Rekonstruksi' Km 25M
Djoko Tjandra: Biaya Hapus Nama dari Daftar Buronan Rp25 M
Terdakwa suap Djoko Tjandra mengungkapkan biaya awal untuk menghapus namanya dalam daftar pencarian orang (DPO) nilainya mencapai Rp25 miliar.
Namun, Djoko Tjandra merasa keberatan dengan nilai tersebut, kemudian ia meminta rekannya Tommy Sumardi untuk mengurus menurunkan harganya. Akhirnya, disepakati nominal Rp10 miliar untuk membersihkan namanya dari DPO di Imigrasi.
"Ini ongkos pertama kali Rp25 M. 'Aduh, Tom, banyak banget. Hanya membersihkan nama saja banyak banget'. Saya nawar Rp5 M. Kemudian akhirnya beliau turun Rp15 M. Entah apa kita bicara, akhirnya ketemu di titik Rp10 M," kata Djoko Tjandra saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin malam, 14 Desember 2020.
Djoko mengaku memberikan uang kepada Tommy sebanyak enam kali sepanjang April-Mei 2020. Proses penyerahan uang itu turut dibantu sekretaris pribadinya bernama Nurmawan Fransisca dan anak buahnya, Nurdin.
Menurut Djoko Tjandra, selalu ada bukti tanda terima yang dilaporkan tiap kali penyerahan uang. Namun, ia mengklaim tak tahu uang itu digunakan Tommy untuk keperluan apa saja.
Dalam surat dakwaan, Djoko Tjandra memberikan sejumlah uang senilai Rp8,31 miliar kepada dua jenderal polisi guna membantu menghapus namanya dari DPO. Pemberian uang tersebut dilakukan melalui perantara Tommy Sumardi.
Dua jenderal polisi itu yakni mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo. Masing-masing menerima Rp6,11 miliar dan Rp2,2 miliar. Suap itu ditujukan agar nama Djoko Tjandra dihapus dalam red notice atau Daftar Pencarian Orang Interpol Polri.
Selain itu, Djoko juga didakwa menyuap Jaksa Pinangki Sirna Malasari Rp7,35 miliar untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait kasus dugaan korupsi hak tagih Bank Bali.
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1331545-djoko-tjandra-biaya-hapus-nama-dari-daftar-buronan-rp25-m
Imigrasi Akui Status Buron Djoko Tjandra Dihapus atas Permintaan Mabes Polri
Mantan Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Sandi Andaryadi menyebutkan penghapusan status buron terpidana Djoko Tjandra atas permintaan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri. Nama Djoko Tjandra akhirnya lenyap dari sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) pada 13 Mei 2020.
Fakta tersebut disampaikan Sandi saat memberikan kesaksian dalam persidangan kasus suap mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri Irjen Napoleon Bonaparte di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/12/2020).
Sandi menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim Ditjen Imigrasi periode 2018-2020. Belakangan, Andaryadi dipindahtugaskan hingga kini sebagai Kepala Kantor Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jakarta Utara.
Menurut Sandi, Ditjen Imigrasi menerima surat dari Divhubinter Mabes Polri pada 5 Mei 2020. Dalam surat disebutkan bahwa nama Djoko Tjandra yang merupakan buron Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tidak tercantum berstatus red notice dalam sistem Interpol sejak 2009.
Berdasarkan surat tersebut, Ditjen Imigrasi lalu menghapus nama Djoko Tjandra dalam Enchanced Cekal System (ECS) pada SIMKIM Ditjen Imigrasi pada 13 Mei 2020.
"Di surat itu (surat dari Divhubinter Polri), diinformasikan bahwa red notice tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol. (Pengahapusan dari SIMKIM) karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu (sebaga DPO dalam SIMKIM) merujuk pada red notice," tegas Andaryadi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
JPU masih penasaran dengan kesaksian Andaryadi. JPU lantas menanyakan untuk penegasan atas penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai DPO pada SIMKIM Ditjen Imigrasi. "Apakah penghapusan DPO itu tindak lanjut surat Divhubinter?" tanya JPU. "Betul," jawab Andaryadi.
Andaryadi melanjutkan, seingat dia ada dua surat dari Divhubinter masing-masing tertanggal 4 dan 5 Mei 2020. Dua surat tersebut ditandatangani oleh pejabat yang sama yakni Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Mabes Polri saat itu.
"Pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa red notice (Djoko Tjandra) sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami," paparnya.