FENOMENA IMAM BESAR
Oleh: Iskandar Zulkarnain
Membaca kalimat Imam Besar, tentu nyaris semua sahabat mengira, yang saya maksudkan adalah sosok HRS, yang kini sedang mendekam di penjara Polda Jaya.
Apa yang sahabat perkirakan itu tidak salah. Meski, tidak sepenuhnya benar.
Karena, Imam Besar yang saya maksud, merupakan kalimat terbuka. Artinya, dia tidak menyasar pada satu tokoh. Namun, lebih pada pengertian universal dari kata Imam Besar.
Imam Besar, adalah pemimpin yang ketokohannya diakui secara mayoritas dalam sebuah komunitas. Dalam hal ini sebut saja negara. Jadi, Imam Besar, bisa saja mewujud dalam sosok seorang tokoh formil seperti Presiden atau non formil seperti Budayawan, Agamawan atau gabungan antara ketiganya.
Tokoh formil, kita kenal Soekarno. Tokoh gabungan antara ketiganya, kita kenal M. Natsir. Natsir, seorang politikus, budayawan dan ulama besar. Ketika, beliau menjadi Perdana Menteri, yang kurang dari satu tahun. Membuahkan karya besar NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA alias NKRI!
Natsir lah tokoh yang dipercaya semua element bangsa ketika itu. Sehingga, dengan safari panjangnya ke-setiap negara bagian Indonesia Serikat, mampu meyakinkan semua pemimpin lokal, agar semua menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan pernyataan saya di atas. Maka, saya ingin ingatkan kalian yang berseru dan berkoar lantang bahwa NKRI harga mati, dengan mainstream pemikiran, itu buah karya Soekarno, kalian salah besar. Paling tidak, Kalian harus sadar, yang kalian teriakkan itu, buah karya Natsir. Tokoh Masyumi, yang kelak, atas desakan PKI partai ini dibubarkan Soekarno.
Kembali ke Imam Besar. Bahwa sang tokoh tercipta dengan proses alami, sang tokoh tidak mencari massa. Tapi, justru massa tercipta sendiri, karena kebutuhan akan sosok sang tokoh.
Nah, dalam dunia realita politik. Idealnya, Imam Besar itu, adalah seorang Presiden. Karena, secara de facto dan de jure sang tokoh memiliki keabsahan moral komplit.
Namun, jika karena sesuatu dan lain hal, ketokohan sang Presiden mencederai rakyatnya. Maka, rakyat akan, mencari tokoh alternatif lain, sebagai Imam Besar.
Pada sang Imam Besar inilah, rakyat menggantungkan harap dari apa-apa harapan yang tak mampu diwujudkan oleh Imam Besar sebelumnya.
Pada titik ini, jika dianalogikan dengan Matahari. Maka, rakyat memiliki dua Matahari. Sosok yang pada sisinya menjadi bahan kajian dan pengamatan. Apapun itu.
Hanya bedanya, Matahari yang satu, memiliki sinar, yang kalah redup dengan Matahari yang satu lagi.
Idealnya, Sang Mentari yang mulai redup, memiliki pikiran yang positif. Bahwa, kehadiran sang Matahari alternatif, dapat menjamin tersedianya kebutuhan sinar yang dibutuhkan rakyat. Bukan, sebaliknya, menganggap Matahari alternatif sebagai tokoh pesaing yang akan memudarkan sinar yang dimilikinya.
Jika, pemikiran kedua yang dimiliki Mentari awal. Maka, sangat logis, jika tindakan yang diambilnya. Berusaha sekuat mungkin memudarkan atau bahkan memadamkan sinar dari Matahari alternatif.
Jika, tindakan itu yang dilakukan. Yakni, memudarkan atau bahkan memadamkan. Sungguh, akibat yang akan terjadi sangat fatal. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Seperti; ketika SBY dilecehkan Mega. Maka, pelecehan itu, membuahkan amunisi gratis bagi SBY untuk melenggang ke Istana. Bukan hanya satu periode. Melainkan, dua periode.
Ketika Masyumi dibubarkan Soekarno. Maka, hanya butuh waktu kurang dua tahun. Soekarno terjungkal dari kekuasaannya. Padahal, tokoh ini, bukan tokoh kaleng-kaleng. Beliau memiliki legitimasi dari MPR untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Pertanyaannya sekarang. Bagaimana kondisi negara tercinta ini sekarang? Apakah Imam Besar ini sudah diperlakukan layak, sebagai mitra untuk terjaminnya pasokan sinar yang dibutuhkan rakyat? Atau malah dianggap sebagai pesaing yang akan memudarkan sinarnya?
Apakah sejarah akan berulang, seperti yang terjadi pada Presiden-presiden sebelumnya?
Waktulah kelak, yang akan membuktikannya.
Pedomannya jelas, sejarah sudah terang benderang di depan kita, apa yang kita kerjakan hari ini, akan berbuah esok hari. Serta, yang terjadi hari ini, adalah buah kerja kita kemarin.
Bijaklah dalam mengambil kebijakan, sebelum semuanya terlambat dan menjadi sesal yang tidak perlu ditangisi.
Wallahu A'laam.
(31 Desember 2020)