[PORTAL-ISLAM.ID] Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 diwarnai dengan kentalnya politik dinasti. Politik yang mengandalkan kedekatan ikatan kekeluargaan ini dinilai bermasalah karena membuat sirkulasi kepemimpinan daerah hanya dikuasai satu kelompok keluarga saja.
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono mengatakan, kekuasaan yang hanya dikuasai oleh satu kelompok berpotensi menyebabkan penyelewengan kekuasaan.
"Bentuk penyelewengan tersebut misalnya korupsi dalam pemerintahan daerah," ujar Arfianto Purbolaksono dalam keterangan tertulis, Senin (23/11).
Persoalan politik dinasti menjadi sorotan dalam laporan tahunan TII yang bertajuk Indonesia Report 2020. Terlepas dari hak konstitusi setiap warga untuk berpartisipasi dalam politik, perlu diakui bahwa politik dinasti terbukti rentan bermasalah dan akan memengaruhi tata kelola pemerintahan, termasuk di tingkat daerah.
Permasalahan tersebut tentu memengaruhi kinerja pemimpin daerah yang terpilih melalui pilkada dalam menjalankan pembangunan daerah, mengingat keterikatan pemimpin yang terpilih dengan politik dinasti terkait, dengan beragam pemangku kepentingan, serta relasi dan kepentingan yang berkelindan.
Arfianto Purbolaksono mengatakan berdasarkan kajian TII, praktik politik dinasti pada pilkada serentak tahun ini terlihat dari beberapa indikator. Pertama, banyak calon memiliki ikatan darah dengan pemimpin yang tengah berkuasa saat ini. Misalnya, status calon kepala daerah adalah seorang anak, adik maupun kakak. Kedua, calon kepala daerah merupakan keluarga inti, misalnya istri.
Dia pun mengungkapkan beberapa alasan yang juga muncul dalam beragam literature terkait politik dinasti diantaranya adalah sebagai berikut: memiliki ikatan darah, dianggap dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat.
"Selanjutnya, calon yang didorong dari keluarga memiliki kesetiaan yang tinggi dan solidaritas yang kuat. Kemudian, yang paling penting adalah adanya jaminan untuk mempertahankan kepentingan dan kehormatan keluarga besarnya," paparnya.
Arfianto Purbolaksono mengatakan, dinasti politik akan membahayakan bagi proses konsolidasi dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Dikhawatirkan hal ini akan melemahkan partisipasi politik masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi proses pembangunan di daerah tersebut.
Belum lagi beragam korupsi yang rentan terjadi di bawah payung dinasti politik, yang terbukti telah terjadi selama ini.
Untuk mengatasi tantangan politik dinasti, khususnya dalam konteks penyelenggaraan pilkada serempak yang akan datang, berikut beberapa rekomendasi yang ditawarkan TII berdasarkan catatan laporan tahunan ini.
Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dituntut untuk bekerja secara profesional, mengawasi aliran dana kampanye pasangan calon, terutama calon yang berasal dari keluarga petahana. Hal ini sangat penting untuk melakukan pengawasan terhadap aliran dana kampanye yang memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Kedua, Bawaslu berkolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara ketat mobilisasi perangkat birokrasi hingga perangkat desa. Kelompok masyarakat sipil dapat menghimpun laporan awal dari masyarakat yang kemudian disampaikan kepada Bawaslu.
Ketiga, Bawaslu bersama kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) menjalankan perannya secara profesional dan tegas untuk penegakan aturan jika ditemukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut misalnya berupa mobilisasi ASN, politik uang, hingga penggunaan isu SARA. [rmol]