[PORTAL-ISLAM.ID] Pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan membangun dialog dengan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib M. Rizieq Shihab.
Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustadz Fahmi Salim mengatakan, komunikasi yang baik antara ulama dan umara akan menyejukkan suasana keumatan di tanah air apalagi pada masa pandemi Covid-19 saat ini.
"Pengerahan kekuatan TNI dan penggunaan perangkat lainnya adalah pendekatan yang tidak tepat. Kita rindu suasana keagamaan yang damai di tengah pandemi ini," kata UFS sapaan akrab pendiri Al-Fahmu Institut ini, di Jakarta, Selasa (24/11/2020).
Menurutnya, unjuk kekuatan justru tidak efektif serta malah berdampak negatif pada citra pemerintah.
Melalui dialog dengan ulama dan tokoh sekaliber HRS akan membuat Umat Islam di Indonesia tenang, di tengah stigma kriminalisasi ulama yang timbul selama ini ekses Pilpres 2019 yang memecah belah masyarakat.
"Jangan sampai muncul kegaduhan baru hanya masalah seperti ini, sementara kita masih ada masalah bersama yang harus ditanggulangi bersama-sama, yaitu keluar dari pandemi ini sesegera mungkin," tambah Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah ini.
Jelas Ustadz Fahmi, cara-cara pengerahan kekuatan militer yang vulgar di publik kepada ulama, justru akan semakin memperkeruh suasana di tengah fokus pemerintah melawan penularan Covid-19 dan pemulihan resesi ekonomi akibat pandemi yang berkepanjangan. Sedangkan dialog dengan tokoh-tokoh umat justru efektif untuk menguatkan komitmen pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya menegakkan protokol kesehatan untuk mengakhiri pandemi.
"Opsi dialog dengan tokoh agama, termasuk dengan Habib Rizieq Shihab, sangat dibutuhkan saat ini. Kita bangun suasana yang damai dan bersatu padu di tengah masalah bangsa yang saat ini mengadang," katanya.
Ustadz Fahmi menyebutkan, pemerintah punya banyak instrumen untuk melakukan pendekatan persuasif, misalnya melibatkan ormas-ormas Islam sekaligus mendengarkan aspirasi umat untuk kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, upaya dialog untuk merajuk harmoni kebangsaan dan keummatan harus didorong menjadi solusi atau jalan tengah.
Dia juga menyinggung upaya dialog antara HRS dengan Wakil Presiden KH Maruf Amin, sebagaimana diungkapkan jubir Wapres Masduki Baidlowi. Wacana tersebut patut diapresiasi dan terus didorong agar terimplementasi menjadi sebuah sinergi yang melibatkan partisipasi keummatan dalam pembangunan bangsa ke depan.
Keinginan HRS untuk berdialog dengan pemerintah sebenarnya sudah disampaikan dalam ceramah awal kedatangannya dengan istilah rekonsiliasi. Yaitu, dialog, duduk bersama, dan menyamakan persepsi dalam satu pola komunikasi.
"Sinyalemen ini harus ditangkap sebagai peluang untuk mengurai benang kusut terjadinya polarisasi di antara anak bangsa," sambungnya.
Dialog ini juga akan mampu mereduksi polarisasi di tengah masyarakat serta menghidarkan publik ke jurang perbedaan yang menjerumuskan dalam ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh Islam. Membiarkan pelaku yang melakukan ujaran kebencian akan menyuburkan perlawanan dari kaum yang merasa tertindas.
Ujaran kebencian yang banyak dilakukan publik, bahkan oleh figur publik terhadap tokoh-tokoh Islam bisa menimbulkan bahaya besar. Jika hal tersebut tidak segera ditindak, akan terjadi efek domino yang membuat ujaran kebencian sebagai hal yang lumrah di media sosial.
"Membiarkan ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh Islam, tokoh-tokoh ulama, itu akan menyuburkan radikalisme, ini sangat berbahay. Bangsa ini sudah lama terpolarisasi akibat masalah-masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan komunikasi, membangun kebersamaan, dan saling kepercayaan antara umat, ulama, dan umara," pungkas Ustadz Fahmi. [RMOL]